Kurs Jual Beli USD 9620 9610 EUR 12475.68 12459.48 JPY 120.431 120.305 AUD 9986.52 9971.34 GBP 15520.91 15500.93 SGD 7884.6 7873.18 HKD 1241.31 1239.97 THB 313.559 312.216 NZD 7912.45 7894.61 01-11-2012, 07:34:30Mega Capital
Kamis, 01 November 2012
Kurs 01/11/2012
IHSG Merosot 14 Poin Pasca Cetak Rekor Tertinggi
Rabu, 31/10/2012
Ilustrasi foto: Angga/detikFinance
Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merosot 14 poin setelah kemarin mencetak rekor tertingginya sepanjang masa. Posisi indeks yang sudah tinggi dimanfaatkan pelaku pasar untuk mengambil untung.
Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup menguat di posisi Rp 9.600 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan kemarin Rp 9.610 per dolar AS.
Membuka perdagangan pagi tadi, IHSG menipis 4,458 poin (0,13%) ke level 4.359,140 terkena aksi ambil untung. Investor memanfaatkan rekor tertinggi IHSG kemarin untuk melepas saham.
Aksi ambil untung melanda saham-saham unggulan yang kemarin sudah naik tinggi. Kini giliran saham-saham lapis dua yang menjadi incaran beli.
Pada penutupan perdagangan sesi I, IHSG melemah 29,645 poin (0,68%) ke level 4.334,953 menyusul koreksi di sembilan indeks sektoral akibat aksi profit taking. Baik investor lokal maupun asing semuanya melakukan aksi ambil untung.
Indeks sama sekali tidak menyentuh zona hijau sejak pembukaan perdagangan pagi tadi. Posisi terendah yang sempat disinggahi indeks hari ini ada di level 4.324,384.
Menutup perdagangan, Rabu (31/10/2012), IHSG merosot 14,307 poin (0,33%) ke level 4.350,291. Sementara Indeks LQ45 melemah 3,121 poin (0,41%) ke level 751,121.
Saham-saham bank yang kemarin naik tinggi kini mulai jadi bulan-bulanan investor. Sahamnya banyak dilepas untuk ambil untung. Hal yang sama juga terjadi di saham-saham konsumer.
Sedangkan saham-saham lapis dua menjadi penopang jatuhnya bursa kali ini, terutama berbasis aneka industri dan industri dasar. Lima sektor menguat, lima sektor lainnya melemah.
Kemarin, IHSG kembali mencetak rekor tertingginya didorong aksi beli saham-saham unggulan, terutama saham-saham bank. Indeks sempat bergerak lambat di awal perdagangan. Rekor terbaru IHSG berada di level 4.364,598 setelah menanjak 33,233 poin (0,77%).
Perdagangan hari ini berjalan moderat dengan frekuensi transaksi mencapai 121.578 kali pada volume 4,77 miliar lembar saham senilai Rp 4,331 triliun. Sebanyak 90 saham naik, sisanya 145 saham turun, dan 106 saham stagnan.
Bursa-bursa di Asia mengakhiri perdagangan hari ini dengan kompak menguat di zona hijau. Kinerja emiten regional berhasil mendorong aksi beli di saham-sahamnya.
Berikut situasi dan kondisi bursa-bursa regional sore hari ini:
- Indeks Komposit Shanghai naik 6,53 poin (0,32%) ke level 2.068,88.
- Indeks Hang Seng melonjak 213,24 poin (1,00%) ke level 21.641,82.
- Indeks Nikkei 225 menanjak 86,31 poin (0,98%) ke level 8.928,29.
- Indeks Straits Times menguat tipis 3,05 poin (0,10%) ke level 3.041,78.
Saham-saham yang naik signifikan dan masuk dalam jajaran top gainers diantaranya Multi Bintang (MLBI) naik Rp 2.000 ke Rp 702.000, Dian Swastatika (DSSA) naik Rp 600 ke Rp 13.600, HM Sampoerna (HMSP) naik Rp 500 ke Rp 54.000, dan Supreme Cable (SCCO) naik Rp 350 ke Rp 5.400.
Sementara saham-saham yang turun cukup dalam dan masuk dalam kategori top losers antara Gudang Garam (GGRM) turun Rp 1.150 ke Rp 49.150, Indocement (INTP) turun Rp 250 ke Rp 21.400, Indomobil (IMAS) turun Rp 250 ke Rp 5.100, dan XL Axiata (EXCL) turun Rp 250 ke Rp 6.850
Sumber: detikfinance.com
Senin, 16 Januari 2012
Sistem pemerintahan demokrasi dan Sejarah perkembangan demokrasi indonesia
Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía) "kekuasaan rakyat", yang dibentuk dari kata δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (Kratos) "kekuasaan", merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM. Istilah demokrasi diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan orang banyak (rakyat). Abraham Lincoln dalam pidato Gettysburgnya mendefinisikan demokrasi sebagai "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Hal ini berarti kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi ada di tangan rakyat dan rakyat mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur kebijakan pemerintahan. Melalui demokrasi, keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak.
Demokrasi terbentuk menjadi suatu sistem pemerintahan sebagai respon kepada masyarakat umum di Athena yang ingin menyuarakan pendapat mereka.Dengan adanya sistem demokrasi, kekuasaan absolut satu pihak melalui tirani, kediktatoran dan pemerintahan otoriter lainnya dapat dihindari.Demokrasi memberikan kebebasan berpendapat bagi rakyat, namun pada masa awal terbentuknya belum semua orang dapat mengemukakan pendapat mereka melainkan hanya laki-laki saja. Sementara itu, wanita, budak, orang asing dan penduduk yang orang tuanya bukan orang Athena tidak memiliki hak untuk itu. Di Indonesia, pergerakan nasional juga mencita-citakan pembentukan negara demokrasi yang berwatak anti-feodalisme dan anti-imperialisme, dengan tujuan membentuk masyarakat sosialis. Bagi Gus Dur, landasan demokrasi adalah keadilan, dalam arti terbukanya peluang kepada semua orang, dan berarti juga otonomi atau kemandirian dari orang yang bersangkutan untuk mengatur hidupnya, sesuai dengan apa yang dia inginkan. Masalah keadilan menjadi penting, dalam arti setiap orang mempunyai hak untuk menentukan sendiri jalan hidupnya, tetapi hak tersebut harus dihormati dan diberikan peluang serta pertolongan untuk mencapai hal tersebut.
Sejarah demokrasi
Sebelum istilah demokrasi ditemukan oleh penduduk Yunani, bentuk sederhana dari demokrasi telah ditemukan sejak 4000 SM di Mesopotamia. Ketika itu, bangsa Sumeria memiliki beberapa negara kota yang independen.Di setiap negara kota tersebut para rakyat seringkali berkumpul untuk mendiskusikan suatu permasalahan dan keputusan pun diambil berdasarkan konsensus atau mufakat. Barulah pada 508 SM, penduduk Athena di Yunani membentuk sistem pemerintahan yang merupakan cikal bakal dari demokrasi modern. Yunani kala itu terdiri dari 1,500 negara kota (poleis) yang kecil dan independen. Negara kota tersebut memiliki sistem pemerintahan yang berbeda-beda, ada yang oligarki, monarki, tirani dan juga demokrasi. Diantaranya terdapat Athena, negara kota yang mencoba sebuah model pemerintahan yang baru masa itu yaitu demokrasi langsung. Penggagas dari demokrasi tersebut pertama kali adalah Solon, seorang penyair dan negarawan. Paket pembaruan konstitusi yang ditulisnya pada 594 SM menjadi dasar bagi demokrasi di Athena namun Solon tidak berhasil membuat perubahan. Demokrasi baru dapat tercapai seratus tahun kemudian oleh Kleisthenes, seorang bangsawan Athena.Dalam demokrasi tersebut, tidak ada perwakilan dalam pemerintahan sebaliknya setiap orang mewakili dirinya sendiri dengan mengeluarkan pendapat dan memilih kebijakan. Namun dari sekitar 150,000 penduduk Athena, hanya seperlimanya yang dapat menjadi rakyat dan menyuarakan pendapat mereka. Demokrasi ini kemudian dicontoh oleh bangsa Romawi pada 510 SM hingga 27 SM. Sistem demokrasi yang dipakai adalah demokrasi perwakilan dimana terdapat beberapa perwakilan dari bangsawan di Senat dan perwakilan dari rakyat biasa di Majelis. Bentuk-bentuk demokrasi
Secara umum terdapat dua bentuk demokrasi yaitu demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan.
Demokrasi langsung
Demokrasi langsung merupakan suatu bentuk demokrasi dimana setiap rakyat memberikan suara atau pendapat dalam menentukan suatu keputusan. Dalam sistem ini, setiap rakyat mewakili dirinya sendiri dalam memilih suatu kebijakan sehingga mereka memiliki pengaruh langsung terhadap keadaan politik yang terjadi. Sistem demokrasi langsung digunakan pada masa awal terbentuknya demokrasi di Athena dimana ketika terdapat suatu permasalahan yang harus diselesaikan, seluruh rakyat berkumpul untuk membahasnya. Di era modern sistem ini menjadi tidak praktis karena umumnya populasi suatu negara cukup besar dan mengumpulkan seluruh rakyat dalam satu forum merupakan hal yang sulit. Selain itu, sistem ini menuntut partisipasi yang tinggi dari rakyat sedangkan rakyat modern cenderung tidak memiliki waktu untuk mempelajari semua permasalahan politik negara. Demokrasi perwakilan
Dalam demokrasi perwakilan, seluruh rakyat memilih perwakilan melalui pemilihan umum untuk menyampaikan pendapat dan mengambil keputusan bagi mereka.
Prinsip-prinsip demokrasi
Rakyat dapat secara bebas menyampaikan aspirasinya dalam kebijakan politik dan sosial.
Prinsip demokrasi dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi telah terakomodasi dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat Almadudi yang kemudian dikenal dengan "soko guru demokrasi". Menurutnya, prinsip-prinsip demokrasi adalah: 1. Kedaulatan rakyat;
2. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah;
3. Kekuasaan mayoritas;
4. Hak-hak minoritas;
5. Jaminan hak asasi manusia;
6. Pemilihan yang bebas dan jujur;
7. Persamaan di depan hukum;
8. Proses hukum yang wajar;
9. Pembatasan pemerintah secara konstitusional;
10. Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik;
11. Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.
Asas pokok demokrasi
Gagasan pokok atau gagasan dasar suatu pemerintahan demokrasi adalah pengakuan hakikat manusia, yaitu pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan yang sama dalam hubungan sosial. Berdasarkan gagasan dasar tersebut terdapat dua asas pokok demokrasi, yaitu: 1. Pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil; dan
2. Pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.
Ciri-ciri pemerintahan demokratis
Pemilihan umum secara langsung mencerminkan sebuah demokrasi yang baik
Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia. Ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut: 1. Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
2. Adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (warga negara).
3. Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
4. Adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat penegakan hukum
5. Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
6. Adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah.
7. Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.
8. Adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil untuk menentukan (memilih) pemimpin negara dan pemerintahan serta anggota
lembaga perwakilan rakyat.
9. Adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan, dan sebagainya).
PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA
A. Pengertian Demokrasi
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif.
Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.
Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih).
Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Banyak negara demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal, narapidana atau bekas narapidana).
B. Sejarah Perkembangan Demokrasi
Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.
Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat.
Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut.
C. Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Semenjak kemerdekaan 17 agustus 1945, Undang Undang Dasar 1945 memberikan penggambaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi.Dalam mekanisme kepemimpinannya Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR dimana MPR adalah sebuah badan yang dipilih dari Rakyat. Sehingga secara hirarki seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan negara melalui mekanisme perwakilan yang dipilih dalam pemilu. Indonesia sempat mengalami masa demokrasi singkat pada tahun 1956 ketika untuk pertama kalinya diselenggarakan pemilu bebas di indonesia, sampai kemudian Presiden Soekarno menyatakan demokrasi terpimpin sebagai pilihan sistem pemerintahan. Setelah mengalami masa Demokrasi Pancasila, sebuah demokrasi semu yang diciptakan untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto, Indonesia kembali masuk kedalam alam demokrasi pada tahun 1998 ketika pemerintahan junta militer Soeharto tumbang. Pemilu demokratis kedua bagi Indonesia terselenggara pada tahun 1999 yang menempatkan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan sebagai pemenang Pemilu.
Tumbangnya Orde Baru pada tanggal 21 Mei 1998, adalah momentum pergantian kekuasaan yang sangat revolusioner dan bersejarah di negara ini. Dan pada tanggal 5 Juli 2004, terjadilah sebuah pergantian kekuasaan lewat Pemilu Presiden putaran pertama. Pemilu ini mewarnai sejarah baru Indonesia, karena untuk pertama kali masyarakat memilih secara langsung presidennya. Sebagai bangsa yang besar tentu kita harus banyak menggali makna dari sejarah.
Hari Kamis, 21 Mei 1998, dalam pidatonya di Istana Negara Presiden Soeharto akhirnya bersedia mengundurkan diri atau lebih tepatnya dengan bahasa politis ia menyatakan “berhenti sebagai presiden Indonesia”. Momentum lengser keprabon-nya Raja Indonesia yang telah bertahta selama 32 tahun ini tentu sangat mengejutkan berbagai pihak. Karena sehari sebelumnya ia sudah berniat akan segera membentuk Kabinet Reformasi. Setelah melalui saat-saat yang menegangkan, akhirnya rezim yang begitu kokoh dan mengakar ini berhasil ditumbangkan. Gerakan mahasiswa sekali lagi menjadi kekuatan terpenting dalam proses perubahan ini. Sebuah perubahan yang telah memakan begitu banyak korban, baik korban harta maupun nyawa. Kontan saja mahasiswa kala itu langsung bersorak-sorai, menangis gembira, dan bersujud syukur atas keberhasilan perjuangannya menumbangkan rezim Orde Baru.
Setelah tumbangnya Orde Baru tibalah detik-detik terbukanya pintu reformasi yang telah begitu lama dinanti. Secercah harapan berbaur kecemasan mengawali dibukanya jendela demokrasi yang selama tiga dasawarsa telah ditutup oleh pengapnya otoritarianisme Orde Baru.
Momentum ini menjadi penanda akan dimulainya transisi demokrasi yang diharapkan mampu menata kembali indahnya taman Indonesia. Pada hari-hari selanjutnya kata “reformasi” meskipun tanpa ada kesepakatan tertulis menjadi jargon utama yang menjiwai ruh para pejuang pro-demokrasi. Selang tiga tahun pasca turunnya Soeharto dari tahun 1998 sampai 2000, telah terjadi tiga kali pergantian rezim yang memunculkan nama-nama:Habibie, Gus Dur, dan Megawati sebagai presiden Republik Indonesia. Dan duduknya ketiga presiden baru tersebut, juga diwarnai dengan perjuangan yang sengit dan tak kalah revolusioner. Lagi-lagi untuk kesekian kalinya mahasiswa menjadi avant guard yang Mendobrak perubahan tersebut.
Megawati yang baru satu tahun mencicipi empuknya kursi presiden pun oleh mahasiswa kembali dituntut mundur lantaran dianggap gagal dan tidak bisa memenuhi amanat reformasi. Pada tanggal 21 Mei 2003, di hampir seluruh penjuru Indonesia mahasiswa turun ke jalan kembali dan menuntut segera turunnya pemerintahan Megawati. Sekaligus pada hari itu juga mahasiswa secara resmi mendeklarasikan “Matinya Reformasi” dan bahkan lebih jauh lagi memunculkan jargon baru yaitu “Revolusi”. Munculnya jargon baru ini menjadi diskursus yang cukup hangat diperbincangkan. Jargon ini kemudian merebak dan dengan cepat menjangkiti elemen prodemokrasi lainya yang juga menghendaki proses demokratisasi secara lebih cepat. Mahasiswa pun lantas menantang kalau memang tidak ada seorang pun tokoh reformis yang layak dan sanggup mengawal transisi demokrasi, maka saatnya kaum muda memimpin.
Dari sepenggal perjalanan sejarah perjuangan mahasiswa tersebut, kita bisa melihat betapa serius, visioner, dan revolusionernya tekad mereka untuk mewujudkan transisi demokrasi yang sesungguhnya. Namun, ketika kita mengaca pada sejarah secara objektif, kita akan menemukan bahwa masa transisi demokrasi di negara dunia ketiga rata-rata membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Yaitu, antara 20 sampai 25 tahun, yang artinya itu empat sampai lima kali Pemilu di Indonesia. Itupun kalau memenuhi beberapa syarat dan tahapan yang normal.
Menurut pemetaan Samuel Huntington (Gelombang Demokratisasi Ketiga, Pustaka Grafiti Press:1997, hal.45), pada tingkatan paling sederhana, demokratisasi mensyaratkan tiga hal : berakhirnya sebuah rezim otoriter, dibangunnya sebuah rezim demokratis, serta konsolidasi kekuatan prodemokrasi. Sedikit berbeda Eep Syaefullah Fatah dalam bukunya Zaman Kesempatan; Agenda-agenda Besar Demokratisasi Pasca Orde Baru, (Mizan, 2000, hal. xxxviii-xli), mengajukan empat tahapan proses demokratisasi dengan mengaca pada pengalaman di Indonesia. Tahapan pertama, berjalan sebelum keruntuhan rezim otoritarian atau totalitarian. Tahapan ini disebutnya dengan Pratransisi. Tahapan kedua, terjadinya liberalisasi politik awal. Dan tahap ini ditandai dengan terjadinya Pemilu yang demokratis serta regulasi kekuasaan sebagai konsekuensi dari hasil Pemilu. Tahapan ketiga adalah Transisi. Tahapan ini ditandai adanya pemerintahan atau pemimpin baru yang bekerja dengan legitimasi yang kuat. Kemudian yang terakhir, tahap keempat adalah Konsolidasi Demokrasi. Tahap ini menurut Eep membutuhkan waktu cukup lama, karena juga harus menghasilkan perubahan paradigma berpikir, pola perilaku, tabiat serta kebudayaan dalam masyarakat
Lantas bagaimana dengan proses transisi demokrasi yang terjadi di Indonesia? Itulah pertanyaan yang harus kita jawab secara objektif dan kita jadikan dasar evaluasi. Esensi konsolidasi demokrasi sebenarnya adalah ketika telah terbentuknya suatu paradigma berfikir, perilaku dan sikap baik di tingkat elit maupun massa yang mencakup dan bertolak dari prinsip-prinsip demokrasi.
Dan untuk konteks Indonesia seharusnya konsolidasi demokrasi ditandai dengan adanya efektifitas pemerintahan, stabilitas politik, penegakan supremasi hukum serta pulihnya kehidupan ekonomi.
Sebenarnya satu parameter yang paling sederhana dan sekaligus menjadi akar permasalahan reformasi dan transisi demokrasi di Indonesia adalah korupsi. Karena yang namanya demokrasi dan reformasi selamanya tidak akan pernah bisa bersatu dan berjalan beriringan bersama korupsi. Padahal justru di Indonesia korupsi telah menjadi tradisi karena berawal dari proses massallisasi dan formallisasi. Korupsi telah terlanjur dianggap wajar dan biasa dalam masyarakat. Kalau dulu era Orde Baru korupsinya masih di bawah meja, kemudian era reformasi korupsinya sudah berani di atas meja. Dan lebih hebatnya lagi sekarang ini sekalian mejanya dikorupsi.
Sementara itu dalam perkembangan ekonomi, beberapa ekonom memang mengacungkan jempol kepada Megawati atas kebijakan ekonomi makronya. Karena secara makro telah terjadi stabilitas ekonomi yang cukup mantap. Itu ditandai dengan naiknya PDB (Product Domestic Bruto) pada kisaran 4%, nilai tukar rupiah juga mulai stabil, cadangan devisa yang mencapai 35 Miliar, nilai eksport di atas 5 Miliar, serta inflasi yang hanya 5% pada tahun 2003.
Bahkan yang lebih fantastis lagi IHSG BEJ (Indeks Harga Saham Gabungan Bursa Efek Jakarta) berhasil mencetak rekor tutup tahun 2003 dengan kenaikan 62,8% dan memasuki tahun 2004 dengan menyentuh level psikologis 700, bahkan sempat berada pada posisi tertinggi 786. Namun demikian bagaimana dengan nasib kehidupan ekonomi kawulo alit. Secara sederhana kita bisa melihat pada angka pengangguran yang naik cukup signifikan apalagi ditambah PHK besar-besaran di beberapa perusahaan. Kemudian kemarin kita juga melihat terjadi penggusuran paksa PKL (Pedagang Kaki Lima) dan angkringan di Malioboro, dan masyarakat kecil di ibu kota yang tidak punya tempat tinggal untuk sekadar berteduh. Akhirnya beberapa prestasi kebijakan ekonomi makropun terkubur oleh kurang diperhitungkanya nasib wong cilik.
Secara singkat ternyata reformasi dan demokratisasi yang terjadi di Indonesia masih sebatas liberalisasi politik belaka, tanpa diikuti fase demokratisasi yang bermuara pada suatu konsolidasi. Barangkali inilah yang disebut Sorensen dalam buku Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang sedang Berubah. (Pustaka Pelajar dan CCSS, 2003), dengan frozen democracy, dimana sistem politik demokrasi yang sedang bersemi berubah menjadi layu karena berbagai kendala yang ada. Akibatnya proses perubahan politik tidak menuju pada pembentukan sosial politik yang demokratis, tetapi malah menyimpang atau bahkan berlawanan dengan arah yang dicita-citakan.
SUMBER :http://rinawatiharini.wordpress.com/2008/06/09/perkembangan-demokrasi-di-indonesia/
KONSEP POLITIK, SISTEM PEMERINTAHAN DEMOKRASI DAN SEJARAH PERKEMBANGAN DEMOKRASI INDONESIA
Teori politik
memiliki dua makna: makna pertama menunjuk teori sebagai pemikiran spekulatif tentang bentuk dan tata cara pengaturan masyarakat yang ideal, makna kedua menunjuk pada kajian sistematis tentang segala kegiatan dalam masyarakat untuk hidup dalam kebersamaan. Contoh teori politik yang merupakan pemikiran spekulatif adalah teori politik Marxis-Leninis atau komunisme, contoh lain adalah teori politik yang berdasar pada pemikiran Adam Smith kapitalisme. Pemikiran Tan Malaka dalam tulisannya Madilog , merupakan
contoh teori politik Indonesia. Nasakom yang diajukan Soekarno merupakan contoh lain.
Sedangkan teori politik sebagai hasil kajian empirik bisa dicontohkan dengan teori struktural - fungsional yang diajukan oleh Talcot Parson (seorang sosiolog), antara lain diturunkan kedalam teori politik menjadi Civic Culture. Konsep sistem politik sendiri merupakan ciptaan para akademisi yang mengkaji kehidupan politik (sesungguhnya diturunkan dari konsep sistem sosial).
BIDANG-BIDANG ILMU POLITIK :
Dalam Contemporary Political Scince, terbitan Unesco 1950, ilmu politik dibagi menjadi empat bidang. Tetapi dalam pembahasan ini sesuai dengan perkembangannya bidang-bidang ilmu politik akan dijelaskan menjadi lima bidang. Bidang kelima ini dijelaskan oleh Miriam Budiarjo dalam bukunya Dasar-Dasar ilmu politik. Penjelasan bidang-bidang ilmu politik tersebut sebagai berikut:
1.Teori politik; a)teori politik b)sejarah perkembangan ide-ide politik
2.Lembaga-lembaga politik; a) undang-undang dasar b) pemerintahan nasional c) pemerintahan daerah dan local d) fungsi ekonomi dan social di pemerintahan e) perbandingan lembaga-lembaga politik
3.Partai-partai, golongan-golongan, dan pendapat umum; a) partai politik b) golongan dan asosiasi c) partisipasi warga Negara dalam pemerintahan di administrasi d) pendapat umum
4.Hubungan Internasional; a) politik internasional b) organisasi dan administrasi internasional c) hukum internasional
5.Pembangunan politik; a) akibat pembangunan cepat dibidang social dan ekonomi atas tata masyarakat b) peranan lembaga-lembaga politik dalam mempengaruhi perkembangan dan pembangunan.
Teori Masyarakat Massa Teori Masyarakat Massa
Teori ini menekankan ketergantungan timbal balik antar institusi yang memegang kekuasaan dan integrasi media terhadap timbal balikantar institusi yang memegang kekuasaan dan integasi media terhadap kekuasaan sosial dan otoritas. Dengan demikian isi media cenderung melayani kepentingan pemegang kekuasaan politik dan ekonomi. Namun demikian, meskipun media tidak bisa diharapkan menyuguhkan pandangan kritis atau tinjauan lain, menyangkut masalah kehidupan, media tetap memiliki kecenderungan untuk membantu publik bebas dalam menerima keberadaannya sebagaimana adanya. Teori masyarakat massa memberi kedudukan terhormat kepada media sebagai penggerak dan pengaman teori masyarakat massa. Teori ini juga sangat mengunggulkan gagasan yang menyatakan bahwa media menyuguhkan pandangan tentang dunia, semacam pengganti atau lingkungan semu (pseudo-environment) yang disatu pihak merupakan sarana ampuh untuk memanipulasi orang, tetapi di lain pihak merupakan alat bantu bagi kelanjutan ketenangan psikisnya dalam kondisi yang sulit. - Marxisme ; Pandangan Klasik Media merupakan alat produksi yang disesuaikan dengan tipe umumn industri kapitalis beserta faktor produksi dan hubungan produksinya. Media cenderung dimonopoli oleh kelas kapitalis, yang penangannya dilaksanakan baik secara nasional maupun internasional untuk memenuhi kepentingan kelas sosial terseut. Para kapitalis melakukan hal tersebut dengan mengeksploitasi pekerja budaya dan konsumen secara material demi memperoleh keuntungan yang berlebihan. Para kapitalis tersebut bekerja secara ideologis dengan menyebarkan ide dan cara pandang kelas penguasa, yang menolak ide lain yang dianggap berkemungkinan untuk menciptakan perubahan atau mengarah ke terciptanya kesadaran kelas pekerja akan kepentingaannya.
macam - macam kekuasaan
Jenis-jenis kekuasaan Genesis kekuasaan, atau dalam terminologi lain: “jenis-jenis kekuasaan (types of power)” (Robbins-1991), atau “basis-basis kekuasaan sosial (the bases of social power)” (French-1960), pada hakekatnya teridentifikasi dari lima hal: legitimate power, coercive power, reward power, expert power, referent power dan Connection Power. Legitimate Power (kekuasaan sah), yakni kekuasaan yang dimiliki seorang pemimpin sebagai hasil dari posisinya dalam suatu organisasi atau lembaga. Kekuasaan yang memberi otoritas atau wewenang (authority) kepada seorang pemimpin untuk memberi perintah, yang harus didengar dan dipatuhi oleh anak buahnya. Bisa berupa kekuasaan seorang jenderal terhadap para prajuritnya, seorang kepala sekolah terhadap guru-guru yang dipimpinnya, ataupun seorang pemimpin perusahaan terhadap karyawannya. Coercive Power (kekuasaan paksa), yakni kekuasaan yang didasari karena kemampuan seorang pemimpin untuk memberi hukuman dan melakukan pengendalian. Yang dipimpin juga menyadari bahwa apabila dia tidak mematuhinya, akan ada efek negatif yang bisa timbul. Pemimpin yang bijak adalah yang bisa menggunakan kekuasaan ini dalam konotasi pendidikan dan arahan yang positif kepada anak buah. Bukan hanya karena rasa senang-tidak senang, ataupun faktor-faktor subyektif lainnya . Reward Power (kekuasaan penghargaan), adalah kekuasaan untuk memberi keuntungan positif atau penghargaan kepada yang dipimpin. Tentu hal ini bisa terlaksana dalam konteks bahwa sang pemimpin mempunyai kemampuan dan sumberdaya untuk memberikan penghargaan kepada bawahan yang mengikuti arahan-arahannya. Penghargaan bisa berupa pemberian hak otonomi atas suatu wilayah yang berprestasi, promosi jabatan, uang, pekerjaan yang lebih menantang, dsb. Expert Power (kekuasaan kepakaran), yakni kekuasaan yang berdasarkan karena kepakaran dan kemampuan seseorang dalam suatu bidang tertentu, sehingga menyebabkan sang bawahan patuh karena percaya bahwa pemimpin mempunyai pengalaman, pengetahuan dan kemahiran konseptual dan teknikal. Kekuasaan ini akan terus berjalan dalam kerangka sang pengikut memerlukan kepakarannya, dan akan hilang apabila sudah tidak memerlukannya.Kekuasaan kepakaran bisa terus eksis apabila ditunjang oleh referent power atau legitimate power. Referent Power (kekuasaan rujukan) adalah kekuasaan yang timbul karena karisma, karakteristik individu, keteladanan atau kepribadian yang menarik. Logika sederhana dari jenis kekuasaan ini adalah, apabila saya mengagumi dan memuja anda, maka anda dapat berkuasa atas saya. Connection Power (kekuasaan koneksi) adalah kekuasaan yang timbul oleh adanya hubungan yang dijalin oleh pimpinan dengan orang penting dan berpengaruh,baik diluar maupun di dalam organisasi Seorang pemimpin yang memiliki jiwa leadership adalah pemimpin yang dengan terampil mampu melakukan kombinasi dan improvisasi dalam menggunakan genesis kekuasaan yang berbeda untuk mempengaruhi perilaku bawahan dalam berbagai situasi. Inilah yang disebut penulis dalam kalimat sebelumnya sebagai kepemimpinan yang efektif (effective leadership), dimana implementasinya adalah dengan “memanfaatkan genesis kekuasaan, dan menerapkannya pada tempat yang tepat”. Dari genesis kekuasaan diatas dapat kita tarik suatu hubungan antara kekuasaan dengan gaya kepemimpinan 1. Legitimate Power Gaya kepemimpinan yang sesuai adalah dengan gaya “konsultasi dan “partisipasi” bagi para pengikut di tingkat sedang (antara M2 dan M3). 2. Coercive Power Gaya kepemimpinan yang cocok adalah dengan pemberian intruksi terhadap pengikut di tingkat kematangan yang rendah.M1 . 3. Reward Power Disini pengikut berada di tingkat perkembangan dari rendah ke sedang, sehingga gaya kepemimpinan “konsultasi” dirasakan sesuai. 5. Referent Power Kekuasan Referensi (Referent) bersumber pada sifat-sifat pribadi seorang pemimpin. Tingkat kematangan pengikut berada dari sedang ke tinggi (M3 ke M4) sehingga gaya kepemimpinan “partisipasi” dan sedikit pengarahan dapat dipergunakan secara efektif. 6. Connection Power Gaya kepemimpinan melalui intruksi dan konsultasi sesuai dengan pengikut yang beranjak di level tingkat M1 ke M2. Selain itu kekuasaan juga dapat dapat dilihat dari 2 sudut pandang yaitu kekuasaan yangbersifat positif dan negatif. 3.3 Kekuasaan bersifat positif Merupakan kemampuan yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada individu sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang dapat mempengaruhi dan merubah pemikiran orang lain atau kelompok untuk melakukan suatu tindakan yang diinginkan oleh pemegang kekuasaan dengan sungguh-sungguh dan atau bukan karena paksaan baik secara fisik maupun mental. 3.2 Kekuasaan bersifat Negatif Merupakan sifat atau watak dari seseorang yang bernuansa arogan, egois, serta apatis dalam mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan tindakan yang diinginkan oleh pemegang kuasa dengan cara paksaan atau tekanan baik secara fisik maupun mental. Biasanya pemegang Kekuasaan yang bersifat negatif ini tidak memiliki kecerdasan intelektual dan emosional yang baik,mereka hanya berfikir pendek dalam mengambil keputusan tanpa melakukan pemikiran yang tajam dalam mengambil suatu tindakan, bahkan mereka sendiri terkadang tidak dapat menjalankan segala perintah yang mereka perintahkan kepada orang atau kelompok yang berada di bawah kekuasannya karena keterbatasan daya pikir tadi. dan biasanya Kekuasaan dengan karakter negatif tersebut hanya mencari keuntungan pribadi atau golongan di atas kekuasannya itu. karena mereka tidak memiliki kemampuan atau modal apapun selain Kekuasaan untuk menghasilkan apapun, dan para pemegang Kekuasaan bersifat negatif tersbut biasanya tidak akan berlangsung lama karena tidak akan mendapatkan dukungan sepenuhnya oleh rakyatnya. Di negara demokrasi, dimana Kekuasaan adalah ditangan rakyat, maka jalan menuju Kekuasaa selain melalui jalur birokrasi biasanya ditempuh melalui jalur partai politik. Partai partai politik berusaha untuk merebut konsituen dalam masa pemilu. Partai politik selanjutnya mengirimkan calon anggota untuk mewakili partainya dalam lembaga legislatif. Dalam pemilihan umum legislatif secara langsung seperti yang terjadi di Indonesia dalam Pemilu 2004 maka calon anggota legislatif dipilih langsung oleh rakyat. Kekuasaan cenderung korup adalah ungkapan yang sering kita dengar, atau dalam bahasa Inggrisnya adalah Power tends to corrupct. Apa benar?? Memang belum tentu benar, tetapi ungkapan tersebut tentu telah melalui penelitian dan pengalaman bertahun tahun.
Bentuk-bentuk negara dan pemerintahan
Bentuk Negara Negara kesatuan : Suatu negara yang mereka dan berdaulat, yang berkuasa satu pemerintah pusat yang menatur seluruh daerah secara totalitas. Bentuk negara ini tidak terdiri atas beberapa negara, yang menggabungkan diri sedemikian rupa hingga menjadi satu negara yang negara-negara itu mempunya status bagian-bagian. Negara Kesatuan dapat berbentuk : Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi, dimana segala sesuatu dalam negara itu langsung diatur dan diurs oleh pemeintah pusat dan daerah-daerah tinggal melaksanakannya. Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, dimana kepala daerah diberikan kesempatan dan kekuasaan untuk mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah) yang dinamakan daerah swatantra. Negara Serikat (Federasi) : Suatu negara yang merupakan gabungan dari beberapa negara yang menjadi negara-negara bagian dari negara serikat itu. Negara-negara bagian itu asala mulanya adalah suatu negara yang merdeka dan berdaulat serta berdiri sendiri. Dengan menggabungkan diri dengan negara serikat, berarti ia telah melepaskan sebagian kekuasaanna dengan menyerahkan kepada negara serikat itu. Kekuasaan yang diserahkan itu disebutkan satu demi satu (limiatif) yang merupakan delegated powers (kekuasaan yang didelegasikan). Kekuasaan Asli ada pada negara bagian karena berhbungan langsung dengan rakyatnya. Penyerahan kekuasaannya kepada negara serikat adlah hal-hal yang berhubungan dengan hubungan luar negeri. Pertahanan Negara, Keuangan, dan urusan Pos. Dapat juga diartikan bahwa bidang kegiatan pemerintah federasi adalah urusan-urusan selebihnya dari pemerintah negara-negara bagian (residuary powers).
Bentuk Pemerintahan
Kerjaan (Monarki) adalah suatu negara yang kepala negaranya adalah seorang Raja, Sultan, atau Kaisar dan Ratu. Kepala negara diangkat (dinobatkan) secara turun-temurun dengan memilih putera/puteri tertua (sesuai dengan budaya setempat) dari isteri yang sah (permaisuri) Ada beberapa macam kerjaan (Monarki) Monarki Mutlak, yaitu seluruh kekuasan negara berada di tangan rajam yang mempunyai kekuasaan dan wewenang yang tidak terbatas, yang mutlak. Perintah raja merupakan undang-undang yang harus dilaksanakan. Kehendak negara adalah Kehendak Rja (I’etat c’est moi) Monarki Konstitusional yaitu suatu monarki, dimana kekuasaan raja itu dibatasi oleh suatu konstitusi (undang-undang dasar) raja tidak boleh b erbuat sesuatu yang bertentangan dengan Konstitusi dan segala perbuatannya harus berdasarkan dan harus sesuai dengan kontitusi Monarki palementer yaitu suatu monarki, dimana terdapat perlemen terhadap badan mana paramentri bai perseorangan maupun secara keseluruhan bertanggung ajawab sepenuhnya dalam system perlemen, raja , kepala Negara itu merupakan lambing kesatuan Negara yang tidak dapat diganggu gugat (the king can do no wrong) yang bertanggung jawab atas kebijakan pemerintah menteri baik bersama-sama untuk keseluruhan maupun seorangan untuk porto polionya sendiri(system tanggung jawab (menteri) Yang dimaksud dengan republic adalah Negara dimana kepala negaranya seorang presiden republic dapat kita bedakan dalam 2 bentuk yaitu serikat dan kesatuan seperti juga dalam Negara kerajaan Negara rebuplik juga dapat memiliki perdana menteri (PM) yang sudah barang tentu presideng terpilih tidak lebih dari seorang symbol kecuali system pemerintahannya memberikan posisi dominant kepada presiden yaitu dengan jalan tidak dapat dijatuhkan presiden oleh mosi tidak percaya parlemen hal ini dicantumkan oleh kontitusi Negara tersebut : Sama hal nya monarki republik itu dapat dibagi menjadi: Republik mutlak (absolute) Republik konstitusi Repulik parlemen Aristoteles , filosofi klasik tunani ternama membagi Negara dalam bentuk pemerintahnya sebagai berikut. Monarki :pimpinan (pemerintah)tertinggi negara terletak ditangan satu orang (mono : satu archein : pemerintah). ologarki : pimpinan (pemerintah ) Negara terletak dalam tangan beberapa orang biasa nya daro kalangan golongan fendal , golonga yang berkuasa). demokrasi : pimpinan (pemeriontah) tertinggi Negara terletak ditangan rakyat (demos : rakyat).
Jenis Kekuasaan, Bentuk Negara dan Sistem Pemerintahan
Dalam mempelajari ilmu politik kita kerap ‘dipusingkan’ oleh berbagai macam istilah yang satu sama lain saling berbeda. Peristilahan yang seringkali ditemukan tersebut misalnya monarki, tirani, aristokrasi, oligarki, demokrasi, mobokrasi, federasi, kesatuan, konfederasi, presidensil, dan parlementer. Bagaimana kita harus mengkategorikan masing-masing istilah tersebut? Apa beda antara monarki dengan parlementer? Sama atau berbedakah pengertian antara tirani dengan monarki? Dalam konteks apa kita berbicara mengenai presidensil atau oligarki? ‘Pemusingan’ ini merupakan awal dari proses belajar, dan jangan kita surut, melainkan terus maju dengan membaca. Jika kita berbicara mengenai monarki, tirani, aristokrasi, oligarki, demokrasi, dan mobokrasi, berarti kita tengah berbicara mengenai jenis-jenis kekuasaan. Jika kita berbicara mengenai federasi, kesatuan, dan konfederasi, berarti kita tengah berbicara mengenai bentuk-bentuk negara. Jika kita berbicara mengenai presidensil dan parlementer berarti kita tengah berbicara mengenai bentuk-bentuk pemerintahan. Jika kita berbicara mengenai jenis kekuasaan, berarti kita tengah berbicara mengenai apakah kekuasaan itu dipegang oleh satu tangan (mono), beberapa tangan atau orang (few), ataukah banyak tangan atau orang (many). Definisi kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi pihak lain agar mereka menuruti keinginan atau maksud si pemberi pengaruh. Dalam hal ini, pihak pemberi pengaruh dapat berwujud mono, few, atau many. Jika kita berbicara mengenai bentuk negara, berarti kita tengah membicarakan bagaimana sifat atau hubungan antara kekuasaan pusat saat berhadapan dengan daerah. Hubungan seperti ini disebut pula sebagai hubungan vertikal, artinya ‘pusat’ diasumsikan berada di atas ‘daerah’, dalam mana keberadaan pusat di ‘atas’ tersebut berbeda derajatnya baik di negara kesatuan, federasi, atau konfederasi. Akhirnya, jika kita berbicara mengenai bentuk pemerintahan, berarti kita tengah berbicara mengenai kekuasaan dalam arti horizontal, khususnya seputar hubungan antara legislatif dengan eksekutif. Legislatif dan eksekutif, dalam doktrin Trias Politika adalah setara, yang satu tidak lebih berkuasa atau lebih tinggi posisinya ketimbang yang lain. Dalam hubungan horizontal inilah kita akan menemui pembicaraan mengenai presidensil atau parlementer. A. Jenis-Jenis Kekuasaan 1. Monarki dan Tirani Monarki berasal dari kata ‘monarch’ yang berarti raja, yaitu jenis kekuasaan politik di mana raja atau ratu sebagai pemegang kekuasaan dominan negara (kerajaan). Para pendukung monarki biasanya mengajukan pendapat bahwa jenis kekuasaan yang dipegang oleh satu tangan ini lebih efektif untuk menciptakan suatu stabiltas atau konsensus di dalam proses pembuatan kebijakan. Perdebatan yang bertele-tele, pendapat yang beragam, atau persaingan antarkelompok menjadi relatif terkurangi oleh sebab cuma ada satu kekuasaan yang dominan. Negara-negara yang menerapkan jenis kekuasaan monarki hingga saat ini adalah Inggris, Swedia, Denmark, Belanda, Norwegia, Belgia, Luxemburg, Jepang, Muangthai, dan Spanyol. Di negara-negara ini, monarki menjadi instrumen pemersatu yang cukup efektif, misalnya sebagai simbol persatuan antar berbagai kelompok yang ada di tengah masyarakat. Kita perhatikan negara yang modern dan maju seperti Inggris dan Jepang pun masih menerapkan sistem monarki. Namun, di negara-negara ini, penguasa monarki harus berbagi kekuasaan dengan pihak lain, terutama parlemen. Proses berbagi kekuasaan tersebut dikukuhkan lewat konstitusi (Undang-undang Dasar), dan sebab itu, monarki di era negara-negara modern sesungguhnya bukan lagi absolut melainkan bersifat monarki konstitusional. Bahkan, kekuasaannya hanya bersifat simbolik (sekadar kepala negara) ketimbang amat menentukan praktek pemerintahan sehari-hari (kepala pemerintahan). Di ke-10 negara monarki yang telah disebut di atas, pihak yang relatif lebih berkuasa untuk menentukan jalannya pemerintahan adalah parlemen dengan perdana menteri sebagai kepala pemerintahannya. Jenis monarki lainnya yang kini masih ada adalah Arab Saudi. Negara ini berupa kerajaan dan raja adalah sekaligus kepala negara dan pemerintahan. Kekuasaan raja tidak dibatasi secara konstitusional, tidak ada partai politik dan oposisi di sana. Pola kekuasaan di Arab Saudi juga dikenal sebagai dinasti (Dinasti al-Saud), di mana pewaris raja adalah keturunannya. Bentuk pemerintahan yang buruk di dalam satu tangan adalah Tirani. Tiran-tiran kejam yang pernah muncul dalam sejarah politik dunia misalnya Kaisar Nero, Caligula, Hitler, atau Stalin. Meskipun Hitler atau Stalin memerintah di era negara modern, tetapi jenis kekuasaan yang mereka jalankan pada hakekatnya terkonsentrasi pada satu tangan, di mana keduanya sama sekali tidak mau membagi kekuasaan dengan pihak lain, dan kerap kali bersifat kejam baik terhadap rakyat sendiri maupun lawan politik. 2. Aristokrasi dan Oligarki Dalam jenis kekuasaan monarki, raja atau ratu biasanya bergantung pada dukungan yang diberikan oleh para penasihat dan birokrat. Jika kekuasaan lebih banyak ditentukan oleh orang-orang ini (penasihat dan birokrat) maka jenis kekuasaan tidak lagi berada pada satu orang (mono) melainkan beberapa (few). Aristokrasi sendiri merupakan pemerintahan oleh sekelompok elit (few) dalam masyarakat, di mana mereka ini mempunyai status sosial, kekayaan, dan kekuasaan politik yang besar. Ketiga hal ini dinikmati secara turun-temurun (diwariskan), menurun dari orang tua kepada anak. Jenis kekuasaan aristokrasi ini disebut pula sebagai jenis kekuasaan kaum bangsawan (aristokrasi). Biasanya, di mana ada kelas aristokrat yang dominan secara politik, maka di sana ada pula monarki. Namun, jenis kekuasaan oleh beberapa orang ini —aristokrasi— tidak bertahan lama, oleh sebab orang-orang yang orang tuanya bukan bangsawan pun bisa duduk mempengaruhi keputusan politik negara asalkan mereka berprestasi, kaya, berpengaruh, dan cerdik. Jika kenyataan ini terjadi, yaitu peralihan dari kekuasaan para bangsawasan ke kelompok non-bangsawan, maka hal tersebut dinyatakan sebagai peralihan atau pergeseran dari aristokrasi menuju oligarki. Untuk menggambarkan peralihan di atas, baiklah kami kemukakan apa yang terjadi di Inggris. Sebelum terjadinya Revolusi Industri padaa abad ke-18 —tepatnya sebelum mesin uap ditemukan oleh James Watt— Inggris menganut jenis kekuasaan monarki dengan kaum bangsawasan (aristokrat) sebagai pemberi pengaruh yang besar. Namun, setelah Revolusi Industri mulai menunjukkan efek, yaitu berupa munculnya kelas menengah baru (pengusaha baru yang kekayaan diperoleh sendiri bukan diwariskan), maka kekuasaan kaum bangsawasan dalam mempengaruhi kekuasaan monarki mulai ‘digerogoti.’ Kelas menengah baru ini mulai menentukan jalannya kekuasaan di parlemen, dan, pengaruh kaum ‘Orang Kaya Baru’ ini dinyatakan sebagai jenis kekuasaan oligarki. Hingga saat ini, di parlemen Inggris terdapat dua kamar yaitu House of Lords dan House of Commons. Kamar yang pertama berisikan kaum bangsawan (namanya didahului dengan Sir), sementara yang kedua banyak diisi oleh kaum kaya yang berpengaruh, meskipun mereka bukan berdarah bangsawan. House of Commons lebih menentukan jalannya parlemen Inggris ketimbang House of Lords. Dengan demikian, oligarki-lah yang lebih berkuasa di Inggris ketimbang aristokrasi pada masa kini. 3. Demokrasi dan Mobokrasi Jika kekuasaan dipegang oleh seluruh rakyat, bukan oleh mono atau few, maka kekuasaan tersebut dinamakan demokrasi. Di dalam sejarah politik, jenis kekuasaan demokrasi yang dikenal terdiri dari dua kategori. Kategori pertama adalah demokrasi langsung (direct democracy) dan demokrasi perwakilan (representative democracy). Demokrasi langsung berarti rakyat memerintah dirinya secara langsung, tanpa perantara. Salah satu pendukung demokrasi langsung adalah Jean Jacques Rousseau, di mana Rousseau ini mengemukakan 4 kondisi yang memungkinkan bagi dilaksanakannya demokrasi langsung yaitu : Jumlah warganegara harus kecil. Pemilikan dan kemakmuran harus dibagi secara merata (hampir merata). Masyarakat harus homogen (sama) secara budaya. Terpenuhi di dalam masyarakat kecil yang bermata pencaharian pertanian. Pertanyaan kemudian adalah: Mungkinkan keadaan yang digambarkan Rousseau itu ada di era negara modern saat ini? Jumlah warganegara negara-negara di dunia rata-rata berada di atas jumlah 1-2 juta jiwa, pemilikan harta sama sekali tidak merata, secara budaya masyarakat relatif heterogen (beragam) yang ditambah dengan infiltrasi budaya asing, dan pencaharian penduduk dunia tengah beralih dari pertanian ke industri. Masih mungkinkah demokrasi langsung dilaksanakan? Di dalam demokrasi langsung, memang kedaulatan rakyat lebih terpelihara oleh sebab kekuasaannya tidak diwakilkan. Semua warganegara ikut terlibat di dalam proses pengambilan keputusan, tanpa ada yang tidak ikut serta. Namun, di zaman pelaksanaan demokrasi langsung sendiri, yaitu di masa negara-kota Yunani Kuno, ada beberapa kelompok masyarakat yang tidak diizinkan untuk ikut serta di dalam proses demokrasi langsung yaitu: budak, perempuan, dan orang asing. Dengan alasan kelemahan demokrasi langsung, terutama oleh ketidakrealistisannya untuk diberlakukan dalam keadaan negara modern, maka demokrasi yang saat ini dikembangkan adalah demokrasi perwakilan. Di dalam demokrasi perwakilan, tetap rakyat yang memerintah. Namun, itu bukan berarti seluruh rakyat berbondong-bondong datang ke parlemen atau istana negara untuk memerintah atau membuat UU. Tentu tidak demikian. Rakyat terlibat secara ‘total’ di dalam mekanisme pemilihan pejabat (utamanya anggota parlemen) lewat Pemilihan Umum periodik (misal: 4 atau 5 tahun sekali). Dengan memilih si anggota parlemen, rakyat tetap berkuasa untuk membuat UU, akan tetapi keterlibatan tersebut melalui si wakil. Wakil ini adalah orang yang mendapat delegasi wewenang dari rakyat. Di Indonesia, 1 orang wakil rakyat (anggota parlemen) kira-kira mewakili 300.000 orang pemilih. Dengan demokrasi perwakilan, rakyat tidak terlibat secara penuh di dalam membuat UU negara. Misalnya saja, dari hampir 200 juta jiwa warganegara Indonesia, proses pemerintahan demokrasi di tingkat parlemen hanya dilakukan oleh 500 orang wakil rakyat yang duduk menjadi anggota DPR. Bandingkan kalau saja Indonesia menerapkan demokrasi langsung di mana 200 juta rakyat Indonesia duduk di parlemen. Kacau dan pasti memakan biaya mahal, bukan? Dengan kenyataan ini maka demokrasi perwakilan lebih praktis ketimbang demokrasi langsung. Dalam demokrasi, baik langsung ataupun tidak langsung, keterlibatan rakyat menjadi tujuan utama penyelenggaraan negara. Masing-masing individu rakyat pasti ingin kepentinganyalah yang terlebih dahulu dipenuhi. Oleh sebab keinginan tersebut ingin didahulukan, dan pihak lain pun sama, dan jika hal ini berujung pada situasi chaos (kacau) bahkan perang (bellum omnium contra omnes --- perang semua lawan semua), maka bukan demokrasi lagi namanya melainkan mobokrasi. Mobokrasi adalah bentuk buruk dari demokrasi, di mana rakyat memang berdaulat tetapi negara berjalan dalam situasi perang dan tidak ada satu pun kesepakatan dapat dibuat secara damai. 4. Timokrasi Menurut Stanley Rosen, Timokrasi adalah jenis kekuasaan yang pernah disebutkan oleh Sokrates, filosof Yunani. Timokrasi dirujuk Sokrates dalam menggambarkan rezim pemerintahan negara kota Sparta. Konsep ini mengacu pada “timocratic man”, yaitu seseorang yang gandrung akan kemenangan dan kehormatan. Timokrasi terletak di posisi tengah antara Aristokrasi dan Oligarki. Juga disebutkan Timokrasi adalah Aristokrasi yang tengah mengalami kemerosotan ke arah jenis kekuasaan Oligarki. Jika Aristokrasi adalah jenis pemerintahan ideal, penuh keberanian dan kehormatan dalam pemerintahan. Namun, tatkala keberanian dan kehormatan dari kekuasaan di tangan beberapa orang atau kelompok ini (aristokrasi) mulai diwarnai motivasi kesejahteraan pribadi atau kelompok, maka dimulaikan Timokrasi. Timokrasi bukan Oligarki, oleh sebab di dalam Timokrasi, menurut Sokrates, masih meniru Aristokrasi. Barulah, tatkala proses peniruan kualitatif atas Aristokrasi tidak lagi terjadi, Timokrasi merosot menjadi Oligarki. 5. Oklokrasi Mirip dengan definisi Mobokrasi. Oklokrasi adalah situasi negara dalam anarki massa. Pemerintahan ini tidak legal dan konstitusional. Namun, karena --biasanya-- kelompok-kelompok massa tersebut punya senjata atau massa besar, mereka memerintah memanfaatkan rasa takut. Amerika Serikat tahun 1930-an hampir masuk ke dalam kategori ini, di mana keluarga-keluarga mafia mengendalikan negara secara ilegal dan inkonstitusional. 6. Plutokrasi Plutokrasi adalah jenis kekuasaan di mana negara “disetir” oleh orang-orang kaya. Plutokrasi ini mirip dengan Oligarki. Namun, Plutokrasi terjadi tatkala tercipta suatu kondisi ekstrim ketimpangan antara “kaya” dan “miskin” di dalam suatu negara. Plutokrat (penguasa dalam Plutokrasi) tidak hanya menguasai sumber-sumber ekonomi dan politik, melainkan juga sumber-sumber militer (pasukan, senjata, teknologi). Dalam kondisi seperti ini, Plutokrat biasanya, secara de facto, lebih berkuasa ketimbang pemerintah resmi. 7. Kleptokrasi Kleptokrasi adalah jenis kekuasaan dimana pejabat publik menggunakan kekuasaan publiknya untuk mencuri kekayaan negara (korupsi otomatis). Kleptokrasi juga disebut sebagai korupsi yang dilakukan oleh para pejabat tingkat tinggi yang secara sistematis menggunakan posisinya untuk mengalirkan dana publik ke dalam kantong-kantong pribadinya. Semakin massal tindak korupsi oleh para pejabat publik, maka semakin mendekati suatu negara menganut jenis pemerintahan Kleptokrasi. B. Bentuk-Bentuk Negara Bentuk-bentuk negara yang dikenal hingga saat ini terdiri dari tiga bentuk yaitu Konfederasi, Kesatuan, dan Federal. Meskipun demikian, bentuk negara Konfederasi kiranya jarang diterapkan di dalam bentuk-bentuk negara pada masa kini. Namun, untuk keperluan analisis, baiklah di dalam materi kuliah ini dicantumkan pula masalah Konfederasi minimal untuk lebih meluaskan wawasan kita mengenai bentuk-bentuk negara yang ada. 1. Negara Konfederasi Bagi L. Oppenheim, “konfederasi terdiri dari beberapa negara yang berdaulat penuh yang untuk mempertahankan kedaulatan ekstern (ke luar) dan intern (ke dalam) bersatu atas dasar perjanjian internasional yang diakui dengan menyelenggarakan beberapa alat perlengkapan tersendiri yang mempunyai kekuasaan tertentu terhadap negara anggota Konfederasi, tetapi tidak terhadap warganegara anggota Konfederasi itu.” Menurut kepada definisi yang diberikan oleh L. Oppenheim di atas, maka Konfederasi adalah negara yang terdiri dari persatuan beberapa negara yang berdaulat. Persatuan tersebut diantaranya dilakukan demi mempertahankan kedaulatan dari negara-negara yang masuk ke dalam Konfederasi tersebut. Pada tahun 1963, Malaysia dan Singapura pernah membangun suatu Konfederasi, yang salah satunya dimaksudkan untuk mengantisipasi politik luar negeri yang agresif dari Indonesia di masa pemerintahan Sukarno. Malaysia dan Singapura mendirikan Konfederasi lebih karena alasan pertahanan masing-masing negara. Dalam Konfederasi, aturan-aturan yang ada di dalamnya hanya berefek kepada masing-masing pemerintah (misal: pemerintah Malaysia dan Singapura), dengan tidak mempengaruhi warganegara (individu warganegara) Malaysia dan Singapura. Meskipun terikat dalam perjanjian, pemerintah Malaysia dan Singapura tetap berdaulat dan berdiri sendiri tanpa intervensi satu negara terhadap negara lainnya di dalam Konfederasi. Miriam Budiardjo menjelaskan bahwa Konfederasi itu sendiri pada hakekatnya bukan negara, baik ditinjau dari sudut ilmu politik maupun dari sudut hukum internasional. Keanggotaan suatu negara ke dalam suatu Konfederasi tidaklah menghilangkan ataupun mengurangi kedaulatan setiap negara yang menjadi anggota Konfederasi. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat skema berikut : Garis putus-putus yang melambangkan ‘rantai komando’ dari Konfederasi menuju Pemerintah Negara A, B, dan C, dimaksudkan guna menunjukkan hirarki yang kurang tegas antara kedua ‘negara’ tersebut (tanpa petunjuk panah plus garis putus-putus). Dapat dilihat misalnya, garis ‘komando’ hanya beranjak dari Konfederasi menuju pemerintah negara A, B, dan C, tetapi tidak pada warganegara di ketiga negara. Garis ‘komando’ langsung terhadap warganegara di masing-masing negara dilakukan oleh pemerintah masing-masing. Kesediaan pemerintah ketiga negara berdaulat untuk bergabung ke dalam konfederasi lebih disebabkan oleh motivasi sukarela ketimbang kewajiban. Pengaruh Konfederasi terhadap ketiga negara berdaulat (A, B, dan C) hanya bersifat kecil saja. Mengenai ‘lingkaran’ yang melingkupi masing-masing pemerintah dan negara bagaian mengindikasikan kedaulatan yang tetap ada di masing-masing negara anggota Konfederasi. 2. Kesatuan Negara Kesatuan adalah negara yang pemerintah pusat atau nasional memegang kedudukan tertinggi, dan memiliki kekuasaan penuh dalam pemerintahan sehari-hari. Tidak ada bidang kegiatan pemerintah yang diserahkan konstitusi kepada satuan-satuan pemerintahan yang lebih kecil (dalam hal ini, daerah atau provinsi). Dalam negara Kesatuan, pemerintah pusat (nasional) bisa melimpahkan banyak tugas (melimpahkan wewenang) kepada kota-kota, kabupaten-kabupaten, atau satuan-satuan pemerintahan lokal. Namun, pelimpahan wewenang ini hanya diatur oleh undang-undang yang dibuat parlemen pusat (di Indonesia DPR-RI), bukan diatur di dalam konstitusi (di Indonesia UUD 1945), di mana pelimpahan wewenang tersebut bisa saja ditarik sewaktu-waktu. Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi, di mana ini dikenal pula sebagai desentralisasi. Namun, kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan pemerintah pusat dan dengan demikian, baik kedaulatan ke dalam maupun kedaulatan ke luar berada pada pemerintah pusat. Miriam Budiardjo menulis bahwa yang menjadi hakekat negara Kesatuan adalah kedaulatannya tidak terbagi dan tidak dibatasi, di mana hal tersebut dijamin di dalam konstitusi. Meskipun daerah diberi kewenangan untuk mengatur sendiri wilayahnya, tetapi itu bukan berarti pemerintah daerah itu berdaulat, sebab pengawasan dan kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat-lah sesungguhnya yang mengatur kehidupan setiap penduduk daerah. Keuntungan negara Kesatuan adalah adanya keseragaman Undang-Undang, karena aturan yang menyangkut ‘nasib’ daerah secara keseluruhan hanya dibuat oleh parlemen pusat. Namun, negara Kesatuan bisa tertimpa beban berat oleh sebab adanya perhatian ekstra pemerintah pusat terhadap masalah-masalah yang muncul di daerah. Penanganan setiap masalah yang muncul di daerah kemungkinan akan lama diselesaikan oleh sebab harus menunggu instruksi dari pusat terlebih dahulu. Bentuk negara Kesatuan juga tidak cocok bagi negara yang jumlah penduduknya besar, heterogenitas (keberagaman) budaya tinggi, dan yang wilayahnya terpecah ke dalam pulau-pulau. Untuk lebih memperjelas masalah negara Kesatuan ini, baiklah kami buat skema berikut : Ada sebagian kewenangan yang didelegasikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, yang dengan kewenangan tersebut pemerintah daerah mengatur penduduk yang ada di dalam wilayahnya. Namun, pengaturan pemerintah daerah terhadap penduduk di wilayahnya lebih bersifat ‘instruksi dari pusat’ ketimbang improvisasi dan inovasi pemerintah daerah itu sendiri. Dalam negara Kesatuan, pemerintah pusat secara langsung mengatur masing-masing penduduk yang ada di setiap daerah. Misalnya, pemerintah pusat berwenang menarik pajak dari penduduk daerah, mengatur kepolisian daerah, mengatur badan pengadilan, membuat kurikulum pendidikan yang bersifat nasional, merelay stasiun televisi dan radio pemerintah ke seluruh daerah, dan bahkan menunjuk gubernur kepala daerah. 3. Federasi Negara Federasi ditandai adanya pemisahan kekuasaan negara antara pemerintahan nasional dengan unsur-unsur kesatuannya (negara bagian, provinsi, republik, kawasan, atau wilayah). Pembagian kekuasaan ini dicantumkan ke dalam konstitusi (undang-undang dasar). Sistem pemerintahan Federasi sangat cocok untuk negara-negara yang memiliki kawasan geografis luas, keragaman budaya daerah tinggi, dan ketimpangan ekonomi cukup tajam. Apakah ada perbedaan antara Konfederasi dengan Federasi ? Ya, ada! Negara-negara yang menjadi anggota suatu Konfederasi tetap merdeka sepenuhnya atau berdaulat, sedangkan negara-negara yang tergabung ke dalam suatu Federasi kehilangan kedaulatannya, oleh sebab kedaulatan ini hanya ada di tangan pemerintahan Federasi. Di Amerika Serikat, terdapat 50 negara bagian semisal Alabama, New Hampshire, New Mexico, Maine, Utah, Wisconsin, South Dakota, Wyoming, West Virginia, Nevada, New Jersey, Florida, Hawaii, Alaska, New Mexico, California, Kansas, Phoenix, Nebraska, Pennsylvania, atau Texas. Negara-negara bagian ini tidaklah berdaulat sendiri-sendiri melainkan kedaulatan tersebut hanya ada di tangan pemerintah Federasi yang dikenal sebagai United States of America (Amerika Serikat) dengan ibukotanya di Washington D.C. (District Columbia) itu! Bagaimana selanjutnya, adakah perbedaan antara negara Federasi dengan negara Kesatuan ? Ya, juga ada! Negara-negara bagian suatu Federasi memiliki wewenang untuk membentuk undang-undang dasar sendiri serta pula wewenang untuk mengatur bentuk organisasi sendiri dalam batas-batas konstitusi federal, sedangkan di dalam negara Kesatuan, organisasi pemerintah daerah secara garis besar telah ditetapkan oleh undang-undang dari pusat. Selanjutnya pula, dalam negara Federasi, wewenang membentuk undang-undang pusat untuk mengatur hal-hal tertentu telah terperinci satu per satu dalam konstitusi Federal, sedangkan dalam negara Kesatuan, wewenang pembentukan undang-undang pusat ditetapkan dalam suatu rumusan umum dan wewenang pembentukan undang-undang lokal tergantung pada badan pembentuk undang-undang pusat itu. Berikut hirarki negara Federasi : Di dalam negara Federasi, kedaulatan hanya milik pemerintah Federal, bukan milik negara-negara bagian. Namun, wewenang negara-negara bagian untuk mengatur penduduk di wilayahnya lebih besar ketimbang pemerintah daerah di negara Kesatuan. Wewenang negara bagian di negara Federasi telah tercantum secara rinci di dalam konstitusi federal, misalnya mengadakan pengadilan sendiri, memiliki undang-undang dasar sendiri, memiliki kurikulum pendidikan sendiri, mengusahakan kepolisian negara bagian sendiri, bahkan melakukan perdagangan langsung dengan negara luar seperti pernah dilakukan pemerintah Indonesia dengan negara bagian Georgia di Amerika Serikat di masa Orde Baru. Kendatipun negara bagian memiliki wewenang konstitusi yang lebih besar ketimbang negara Kesatuan, kedaulatan tetap berada di tangan pemerintah Federal yaitu dengan monopoli hak untuk mengatur Angkatan Bersenjata, mencetak mata uang, dan melakukan politik luar negeri (hubungan diplomatik). Kedaulatan ke dalam dan ke luar di dalam negara Federasi tetap menjadi hak pemerintah Federal bukan negara-negara bagian. Korelasi Demografis dengan Bentuk Negara dan Pemerintahan Guna memperlihatkan korelasi antara bentuk negara, luas wilayah, jumlah penduduk, bentuk pemerintahan, dan bentuk negara, di bawah ini kami cantumkan 20 negara dari beragam belahan dunia. Perhatikan tabel di bawah ini : Dari tabel di atas dapat kita sama-sama lihat bahwa negara-negara dengan luas wilayah besar (di atas 1 juta kilometer persegi), biasanya memilih bentuk negara Federasi, kecuali Indonesia, Mesir, dan Bolivia. Namun, antara Indonesia, Mesir dan Bolivia terdapat sejumlah perbedaan. Indonesia terpecah ke dalam pulau-pulau di mana penduduk di masing-masing pulau tersebut memiliki budaya yang saling berbeda. Sementara Mesir dan Bolivia seluruh wilayahnya berada di daratan. Jumlah penduduk Bolivia dan Mesir pun jauh berada di bawah jumlah penduduk Indonesia. Anda pun dapat menganalisis berdasarkan tabel di atas khususnya sehubungan dengan masalah keragaman budaya di masing-masing negara dengan pemilihan bentuk negara (Federasi atau Kesatuan). Di Indonesia sendiri, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam telah diberi hak untuk menerapkan sistem hukum sendiri (syariat Islam), tetapi tetap tidak diperbolehkan memiliki angkatan perang, mata uang, dan melakukan politik luar negeri sendiri. Apakah Indonesia tengah berjalan menuju bentuk negara Federasi atau tidak? Bagaimana argumentasi Anda? C. Bentuk Pemerintahan Pengantar. Pemerintahan tidak sekedar menyangkut pihak eksekutif, melainkan juga eksekutif. Dalam pembicaraan mengenai bentuk pemerintahan, kita sekaligus menelaah hubungan antara badan eksekutif dengan legislatif. Pembicaraan ini juga menyangkut bagaimana proses perekrutan anggota eksekutif dan legislatif di suatu negara. Dua bentuk pemerintahan yang paling luas digunakan negara-negara di dunia adalah Parlementer dan Presidensil. Kedua bentuk tersebut memiliki mekanisme perekrutan yang berbeda satu dengan lainnnya. 1. Bentuk Pemerintahan Parlementer Dalam sistem Parlementer, warganegara tidak memilih kepala negara secara langsung. Mereka memilih anggota-anggota dewan perwakilan rakyat, yang diorganisasi ke dalam satu atau lebih partai politik. Umumnya, sistem Parlementer mengindikasikan hubungan kelembagaan yang erat antara eksekutif dan legislatif. Kepala pemerintahan dalam sistem Parlementer adalah perdana menteri (disebut Premier di Italia atau Kanselir di Jerman). Perdana menteri memilih menteri-menteri serta membentuk kabinet berdasarkan suatu ‘mayoritas’ dalam parlemen (berdasarkan jumlah suara yang didapat masing-masing partai di dalam Pemilu). Untuk lebih memberi kejelasan mengenai sistem Parlementer ini, baiklah digambarkan terlebih dahulu skema berikut : Dalam bentuk pemerintahan parlementer, pemilu hanya diadakan satu macam yaitu untuk memilih anggota parlemen. Lewat mekanisme pemilihan umum, warganegara memilih wakil-wakil mereka untuk duduk di parlemen. Wakil-wakil yang mereka pilih tersebut merupakan anggota dari partai-partai politik yang ikut serta di dalam pemilihan umum. Jika sebuah partai memenangkan suara secara mayoritas (misalnya 51% suara pemilih), maka secara otomatis, ketua partai tersebut menjadi perdana menteri. Selanjutnya, tugas yang harus dilakukan si perdana menteri ini adalah membentuk kabinet, di mana anggota-anggota kabinet diajukan oleh para anggota parlemen terpilih, sehingga anggota kabinet dapat berasal baik dari partainya sendiri maupun partai saingannya yang punya jumlah suara signifikan. Menteri-menteri inilah yang nantinya mengarahkan atau mengepalai kementerian-kementerian yang dibentuk. Jika pemilu tidak menghasilkan jumlah suara mayoritas (misalnya 30% hingga 50%), maka partai-partai harus berkoalisi untuk kemudian memilih siapa perdana menterinya. Biasanya, partai dengan jumlah suara paling besar-lah yang ketua partainya menjadi perdana menteri di dalam koalisi (kabinet koalisi). Susunan kabinet pun, dengan koalisi ini, tidak bisa dimonopoli oleh satu partai saja, layaknya ketika pemilu menghasilkan suara mayoritas 51%. Masing-masing partai yang berkoalisi biasanya menuntut ‘jatah’ menteri sesuai dengan jumlah suara yang mereka hasilkan dalam pemilu. Untuk selanjutnya, perdana menteri (beserta kabinetnya) bertanggung jawab kepada parlemen sebagai representasi rakyat hasil pemilihan umum. Dalam bentuk parlementer, perdana menteri menjadi kepala pemerintahan sekaligus pemimpin partai. Dalam sistem parlementer, partai yang menang dan masuk ke dalam kabinet menjadi ‘pemerintah’ sementara yang tetap berada di dalam parlemen menjadi ‘oposisi.’ Hal yang menarik adalah, anggota-angggota parlemen yang menjadi oposisi membentuk semacam ‘kabinet bayangan.’ Jika kabinet pemerintah ‘jatuh’, maka ‘kabinet bayangan’ inilah yang akan menggantikannya lewat pemilu ‘yang dipercepat’ atau pemilihan perdana menteri baru. Sistem ‘kabinet bayangan’ ini berlangsung efektif di Inggris di mana ‘kabinet bayangan’ tersebut bekerja layaknya kabinet pemerintah dan … digaji pula. Matthew Soberg Shugart menyatakan bahwa, bentuk pemerintahan parlementer murni adalah sebagai berikut : Executive authority, consisting of a prime minister and cabinet, arises out of the legislative assembly; The executive is at all times subject to potential dismissal via a vote of “no confidence” by a majority of the legislative assembly. Shugart menekankan bahwa hubungan antara legislatif dan eksekutif dalam parlementer bersifat hirarkis. Dalam poin 1, otoritas eksekutif terdiri atas perdana menteri dan kabinet. Keduanya lahir dari parlemen (legislatif). Karena keduanya lahir dari parlemen, maka baik perdana menteri ataupun anggota kabinet merupakan sasaran potensial bagi “mosi tidak percaya” yang disuarakan oleh parlemen. Mudahnya, posisi perdana menteri dan para menterinya amat bergantung pada kepercayaan politik yang diberikan para anggota parlemen. Sebab itu, secara hirarkis, posisi perdana menteri dan anggota kabinet ada di bawah parlemen atau, eksekutif berada di bawah legislatif. Shugart juga menambahkan bahwa sistem pemerintahan Parlementer punya 2 varian, yaitu : (1) Parlementer Mayoritas dan (2) Parlementer Transaksional. Parlementer Mayoritas. Sistem ini berkembang kala satu partai memperoleh mayoritas kursi di parlemen. Jika terjadi kondisi seperti ini, maka hubungan antara legislatif dan eksekutif bersifat hirarkis di mana legislatif berada di atas eksekutif. Kajian yang dilakukan Walter Bagehot (1867-1963) menunjukkan derajat hirarkis seperti ini masih terjadi antara kepemimpinan partai mayoritas di dalam parlemen terhadap eksekutif. Namun, pasca Bagehot muncul keadaan di mana konsentrasi kekuasaan ada di tangan kepemimpinan partai mayoritas (partai itu sendiri) ketimbang kepemimpinan partai di dalam parlemen. Kondisi lain yang juga mengemuka, pimpinan partai yang duduk di dalam kabinet semakin beroleh otonomi yang lebih besar dan cenderung “lepas” dari sokongan politik mereka di parlemen. Ini misalnya terjadi di Inggris atau negara yang menganut demokrasi Westminster. Parlementer Transaksional. Jika tidak terdapat mayoritas di dalam parlemen, eksekutif dalam sistem parlementer akan terdiri dari koalisi. Kabinet dalam koalisi ini bertahan selama koalisi mampu menjamin mayoritas. Alternatif-nya, pemerintahan minoritas mungkin saja terbentuk, di mana kabinet tetap ada sejauh oposisi tidak membangun aliansi guna menghentikannya. Parlementer Transaksional ini bersifat hirarkis dalam rangka hubungan legislatif – eksekutif-nya. 2. Bentuk Pemerintahan Presidensil Presidensil cenderung memisahkan kepala eksekutif dari dewan perwakilan rakyat. Sangat sedikit media tempat di mana eksekutif dan legislatif dapat saling bertanya satu sama lain. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat skema presidensil di bawah ini : Dalam sistem presidensil, pemilu diadakan dua macam. Pertama untuk memilih anggota parlemen dan kedua untuk memilih presiden. Presiden inilah yang dengan hak prerogatifnya menunjuk pembantu-pembantunya, yaitu menteri-menteri di dalam kabinet. Pola penunjukkan menteri oleh presiden ini efektif di dalam sistem dua partai, di mana dengan dua partai yang bersaing tersebut, pasti salah satu partai akan menang secara mayoritas. Di dalam sistem banyak partai, penunjukkan menteri oleh presiden juga dapat efektif jika salah satu partai menang secara 51%. Di Indonesia yang bersistemkan presidensil, mekanisme penunjukkan anggota kabinet efektif di masa pemerintahanan Soeharto. Namun, di masa reformasi, pemenang pemilu, misalnya PDI-P, hanya mengantongi sekitar 35% suara, dan itu tidaklah mayoritas, sehingga di dalam menunjuk menteri-menteri Megawati harus mempertimbangkan pendapat dari partai-partai lain, apalagi yang punya suara cukup besar seperti Golkar, PPP, PAN, dan PKB. Di dalam sistem presidensil, presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen (DPR) tetapi langsung kepada rakyat. Sanksi jika presiden dianggap tidak ‘menrespon hati nurani rakyat’ dapat berujung pada dua jalan: pertama, tidak memilih lagi si presiden tersebut dalam proses pemilihan umumj, dan kedua, mengadukan pelanggaran-pelanggaran yang presiden lakukan kepada parlemen. Parlemen inilah yang nanti menggunakan hak kontrolnya untuk mempertanyan sikap-sikap presiden yang diadukan ‘rakyat’ tersebut. Jadi, berbeda dengan Parlementer —di mana jika si perdana menteri dianggap tidak bertanggung jawab, parlemen, terutama partai-partai oposisi, dapat mengajukan mosi tidak percaya kepada perdana menteri yang jika didukung oleh 51% suara parlemen, si perdana menteri tersebut beserta kabinetnya terpaksa harus mengundurkan diri— dalam sistem presidensil, hal seperti ini sulit untuk dilakukan mengingat yang memilih si presiden bukanlah parlemen melainkan rakyat secara langsung. Matthew Soberg Shugart menyatakan, bentuk murni dari presidensil adalah sebagai berikut : Eksekutif dikepalai oleh presiden yang dipilih rakyat secara langsung dan ia merupakan “kepala eksekutif.” Posisi eksekutif dan legislatif didefinisikan secara jelas dan keduanya tidak saling bergantung. Presiden memilih dan mengarahkan kabinet dan punya sejumlah kewenangan pembuatan legislasi yang diatur secara konstitusional. Bagi Shugart, posisi hubungan eksekutif dan legislatif adalah transaksional. Keduanya independen satu sama lain karena dipilih rakyat lewat dua pemilu berbeda. Posisi legislatif tidak lebih tinggi ketimbang eksekutif dan demikian pula sebaliknya. Namun, eksekutif dan legislatif terlibat dalam hubungan pertukaran (transaksional) seputar keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan politik bergantung permasalahan yang mengemuka. Varian bentuk sistem Presidensil terjadi bergantung kebutuhan presiden dalam melakukan transaksi dengan legislatif. Kebutuhan tersebut utamanya dalam hal presiden mengimplementasikan kebijakan. Kala parlemen terdiri atas partai mayoritas, baik itu partai-nya presiden atau bukan, pasti terdapat kapasitas institusional untuk tawar-menawar dengan presiden seputar kepentingan partai mayoritas tersebut. Dalam konteks ini, presiden mungkin tidak membutuhkan kabinet yang merefleksikan transaksi eksekutif-legislatif. Legislatif dan eksekutif yang otonomi tercipta. Kala parlemen terfragmentasi dan presiden punya dukungan yang kurang memadai dari parlemen. Sementara itu, presiden memilih tidak membentuk kabinet yang mencerminkan komposisi suara dalam parlemen dengan alasan persetujuan dengan parlemen akan membatasi kemampuannya mengimplementasi kebijakan. Jika ini yang terjadi, maka akan tercipta pola “anarkis” di mana presiden terus menerus diganggu dan tidak ada program-program pemerintah yang tuntas terlaksana akibat gangguan tersebut. Kala tidak terdapat mayoritas legislatif tetapi terdapat dukuan partisan substansial bagi presiden di parlemen, maka presiden butuh dan ingin melakukan transaksi dengan parlemen seputar kabinet. Transaksi ini dalam rangka menghubungkan legislatif dan eksekutif bersama dan memfasilitasi tawar-menawar legislatif. 3. Semi Presidensil Shugart memuat pernyataan Maurice Duverger tahun 1980 tentang sistem pemerintahan campuran. Sistem campuran ini ia sebut Semi-Presidensial. Lebih lanjut, Shugart menyatakan bahwa ciri utama dari Semi-Presidensial adalah : Presiden dipilih langsung oleh rakyat; Presiden punya kewenangan konstitusional terbatas; Terdapat pula Perdana Menteri dan Kabinet, yang merupakan kepanjangan tangan dari mayoritas di parlemen. Semi-Presidensial juga disebut Blondell tahun 1984 sebagai “Dual Excecutive”. Dual executive terjadi kala presiden tidak hanya kepala negara yang kurang otoritas politiknya, tetapi juga bukan kepala pemerintahan (eksekutif) yang sesungguhnya, karena juga terdapat Perdana Menteri yang punya hubungan kuat dengan parlemen dan merefleksikan demokrasi parlementer. Namun, rupa hubungan antara Presiden, Perdana Menteri, Kabinet, dan Parlemen berbeda-beda antara negara-negara yang menerapkan Semi-Presidensial tersebut. Varian sistem Semi-Presidensial yaitu : (1) Premier-Presidensil dan (2) President-Parlementer. Kedua varian ini akibat cukup bervariasinya praktek-praktek Semi-Presidensial untuk hanya secara ketat dimasukkan ke dalam terminologi Duverger. Variasi praktek tersebut dalam hal kekuasan konstitusional formal ataupun perilaku aktual pemerintah di masing-masing negara. Presiden mungkin terkesan sangat kuat di satu negara, sementara amat lemah di negara lainnya. Premier-Presidensil. Dalam Premier-Presidensil, perdana menteri dan kabinet secara eksklusif bertanggung jawab kepada mayoritas parlemen. Ini berbeda dengan President-Parlementer dimana perdana menteri dan kabinet bertanggung jawab kepada dua pihak yaitu presiden dan mayoritas parlemen. Dalam Premier-Presidensil pula, hanya mayoritas parlemen saja yang berhak memberhentikan kabinet. Ini membuat Premier-Presidensil sangat dekat dengan Parlementer. Namun, ia tetap punya ciri Presidensil, yaitu bahwa presiden punya kewenangan konstitusional untuk bertindak secara independen di hadapan parlemen. Keindependenan tersebut bisa dalam hal membentuk pemerintahan ataupun pembuatan undang-undang. Presiden-Parlementer. Dalam sistem ini presiden menikmatik kekuasaan konstitusional yang lebih kuat atas komposisi kabinet ketimbang di Premier-Presidensil. Otoritas presiden dalam Presiden-Parlementer juga bisa terbatas akibat orang yang dinominasikan untuk menjadi perdana menteri harus dikonfirmasi terlebih dahulu oleh mayoritas parlemen. Presiden-Parlementer menciptakan pertanggungjawaban ganda perdana menteri dan kabinet, yaitu kepada presiden dan parlemen. Sistem ini juga menempatkan presiden dalam posisi relatif kuat ketimbang Premier-Presidensil . 4. Hybryd Lainnya Selain Semi-Presidensial, terdapat pula model hybryd sistem pemerintahan yang bukan parlementer, bukan presidensil, dan bukan Semi-Presidensial. Model pemerintahan ini terdapat di Swiss di mana terdapat eksekutif yang dipilih dari parlemen dan memiliki jangka waktu kekuasaan yang fix (tidak bisa diganggu oleh parlemen). Model ini juga ada di Israel, di mana kepala eksekutif yang dipilih langsung rakyat sekaligus punya posisi yang punya ketergantungan tinggi pada parlemen. Demi memberikan gambaran lebih rinci seputar persebaran anutan sistem pemerintahan di dunia, baiklah kami kutipkan taksonomi dari Matthew Soberg Shugart berikut ini :
sumber: http://sauri-sofyan.blogspot.com/2010/01/macam-macam-kekuasaan.html
1.Teori politik; a)teori politik b)sejarah perkembangan ide-ide politik
2.Lembaga-lembaga politik; a) undang-undang dasar b) pemerintahan nasional c) pemerintahan daerah dan local d) fungsi ekonomi dan social di pemerintahan e) perbandingan lembaga-lembaga politik
3.Partai-partai, golongan-golongan, dan pendapat umum; a) partai politik b) golongan dan asosiasi c) partisipasi warga Negara dalam pemerintahan di administrasi d) pendapat umum
4.Hubungan Internasional; a) politik internasional b) organisasi dan administrasi internasional c) hukum internasional
5.Pembangunan politik; a) akibat pembangunan cepat dibidang social dan ekonomi atas tata masyarakat b) peranan lembaga-lembaga politik dalam mempengaruhi perkembangan dan pembangunan.
Teori Masyarakat Massa Teori Masyarakat Massa
Teori ini menekankan ketergantungan timbal balik antar institusi yang memegang kekuasaan dan integrasi media terhadap timbal balikantar institusi yang memegang kekuasaan dan integasi media terhadap kekuasaan sosial dan otoritas. Dengan demikian isi media cenderung melayani kepentingan pemegang kekuasaan politik dan ekonomi. Namun demikian, meskipun media tidak bisa diharapkan menyuguhkan pandangan kritis atau tinjauan lain, menyangkut masalah kehidupan, media tetap memiliki kecenderungan untuk membantu publik bebas dalam menerima keberadaannya sebagaimana adanya. Teori masyarakat massa memberi kedudukan terhormat kepada media sebagai penggerak dan pengaman teori masyarakat massa. Teori ini juga sangat mengunggulkan gagasan yang menyatakan bahwa media menyuguhkan pandangan tentang dunia, semacam pengganti atau lingkungan semu (pseudo-environment) yang disatu pihak merupakan sarana ampuh untuk memanipulasi orang, tetapi di lain pihak merupakan alat bantu bagi kelanjutan ketenangan psikisnya dalam kondisi yang sulit. - Marxisme ; Pandangan Klasik Media merupakan alat produksi yang disesuaikan dengan tipe umumn industri kapitalis beserta faktor produksi dan hubungan produksinya. Media cenderung dimonopoli oleh kelas kapitalis, yang penangannya dilaksanakan baik secara nasional maupun internasional untuk memenuhi kepentingan kelas sosial terseut. Para kapitalis melakukan hal tersebut dengan mengeksploitasi pekerja budaya dan konsumen secara material demi memperoleh keuntungan yang berlebihan. Para kapitalis tersebut bekerja secara ideologis dengan menyebarkan ide dan cara pandang kelas penguasa, yang menolak ide lain yang dianggap berkemungkinan untuk menciptakan perubahan atau mengarah ke terciptanya kesadaran kelas pekerja akan kepentingaannya.
macam - macam kekuasaan
Jenis-jenis kekuasaan Genesis kekuasaan, atau dalam terminologi lain: “jenis-jenis kekuasaan (types of power)” (Robbins-1991), atau “basis-basis kekuasaan sosial (the bases of social power)” (French-1960), pada hakekatnya teridentifikasi dari lima hal: legitimate power, coercive power, reward power, expert power, referent power dan Connection Power. Legitimate Power (kekuasaan sah), yakni kekuasaan yang dimiliki seorang pemimpin sebagai hasil dari posisinya dalam suatu organisasi atau lembaga. Kekuasaan yang memberi otoritas atau wewenang (authority) kepada seorang pemimpin untuk memberi perintah, yang harus didengar dan dipatuhi oleh anak buahnya. Bisa berupa kekuasaan seorang jenderal terhadap para prajuritnya, seorang kepala sekolah terhadap guru-guru yang dipimpinnya, ataupun seorang pemimpin perusahaan terhadap karyawannya. Coercive Power (kekuasaan paksa), yakni kekuasaan yang didasari karena kemampuan seorang pemimpin untuk memberi hukuman dan melakukan pengendalian. Yang dipimpin juga menyadari bahwa apabila dia tidak mematuhinya, akan ada efek negatif yang bisa timbul. Pemimpin yang bijak adalah yang bisa menggunakan kekuasaan ini dalam konotasi pendidikan dan arahan yang positif kepada anak buah. Bukan hanya karena rasa senang-tidak senang, ataupun faktor-faktor subyektif lainnya . Reward Power (kekuasaan penghargaan), adalah kekuasaan untuk memberi keuntungan positif atau penghargaan kepada yang dipimpin. Tentu hal ini bisa terlaksana dalam konteks bahwa sang pemimpin mempunyai kemampuan dan sumberdaya untuk memberikan penghargaan kepada bawahan yang mengikuti arahan-arahannya. Penghargaan bisa berupa pemberian hak otonomi atas suatu wilayah yang berprestasi, promosi jabatan, uang, pekerjaan yang lebih menantang, dsb. Expert Power (kekuasaan kepakaran), yakni kekuasaan yang berdasarkan karena kepakaran dan kemampuan seseorang dalam suatu bidang tertentu, sehingga menyebabkan sang bawahan patuh karena percaya bahwa pemimpin mempunyai pengalaman, pengetahuan dan kemahiran konseptual dan teknikal. Kekuasaan ini akan terus berjalan dalam kerangka sang pengikut memerlukan kepakarannya, dan akan hilang apabila sudah tidak memerlukannya.Kekuasaan kepakaran bisa terus eksis apabila ditunjang oleh referent power atau legitimate power. Referent Power (kekuasaan rujukan) adalah kekuasaan yang timbul karena karisma, karakteristik individu, keteladanan atau kepribadian yang menarik. Logika sederhana dari jenis kekuasaan ini adalah, apabila saya mengagumi dan memuja anda, maka anda dapat berkuasa atas saya. Connection Power (kekuasaan koneksi) adalah kekuasaan yang timbul oleh adanya hubungan yang dijalin oleh pimpinan dengan orang penting dan berpengaruh,baik diluar maupun di dalam organisasi Seorang pemimpin yang memiliki jiwa leadership adalah pemimpin yang dengan terampil mampu melakukan kombinasi dan improvisasi dalam menggunakan genesis kekuasaan yang berbeda untuk mempengaruhi perilaku bawahan dalam berbagai situasi. Inilah yang disebut penulis dalam kalimat sebelumnya sebagai kepemimpinan yang efektif (effective leadership), dimana implementasinya adalah dengan “memanfaatkan genesis kekuasaan, dan menerapkannya pada tempat yang tepat”. Dari genesis kekuasaan diatas dapat kita tarik suatu hubungan antara kekuasaan dengan gaya kepemimpinan 1. Legitimate Power Gaya kepemimpinan yang sesuai adalah dengan gaya “konsultasi dan “partisipasi” bagi para pengikut di tingkat sedang (antara M2 dan M3). 2. Coercive Power Gaya kepemimpinan yang cocok adalah dengan pemberian intruksi terhadap pengikut di tingkat kematangan yang rendah.M1 . 3. Reward Power Disini pengikut berada di tingkat perkembangan dari rendah ke sedang, sehingga gaya kepemimpinan “konsultasi” dirasakan sesuai. 5. Referent Power Kekuasan Referensi (Referent) bersumber pada sifat-sifat pribadi seorang pemimpin. Tingkat kematangan pengikut berada dari sedang ke tinggi (M3 ke M4) sehingga gaya kepemimpinan “partisipasi” dan sedikit pengarahan dapat dipergunakan secara efektif. 6. Connection Power Gaya kepemimpinan melalui intruksi dan konsultasi sesuai dengan pengikut yang beranjak di level tingkat M1 ke M2. Selain itu kekuasaan juga dapat dapat dilihat dari 2 sudut pandang yaitu kekuasaan yangbersifat positif dan negatif. 3.3 Kekuasaan bersifat positif Merupakan kemampuan yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada individu sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang dapat mempengaruhi dan merubah pemikiran orang lain atau kelompok untuk melakukan suatu tindakan yang diinginkan oleh pemegang kekuasaan dengan sungguh-sungguh dan atau bukan karena paksaan baik secara fisik maupun mental. 3.2 Kekuasaan bersifat Negatif Merupakan sifat atau watak dari seseorang yang bernuansa arogan, egois, serta apatis dalam mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan tindakan yang diinginkan oleh pemegang kuasa dengan cara paksaan atau tekanan baik secara fisik maupun mental. Biasanya pemegang Kekuasaan yang bersifat negatif ini tidak memiliki kecerdasan intelektual dan emosional yang baik,mereka hanya berfikir pendek dalam mengambil keputusan tanpa melakukan pemikiran yang tajam dalam mengambil suatu tindakan, bahkan mereka sendiri terkadang tidak dapat menjalankan segala perintah yang mereka perintahkan kepada orang atau kelompok yang berada di bawah kekuasannya karena keterbatasan daya pikir tadi. dan biasanya Kekuasaan dengan karakter negatif tersebut hanya mencari keuntungan pribadi atau golongan di atas kekuasannya itu. karena mereka tidak memiliki kemampuan atau modal apapun selain Kekuasaan untuk menghasilkan apapun, dan para pemegang Kekuasaan bersifat negatif tersbut biasanya tidak akan berlangsung lama karena tidak akan mendapatkan dukungan sepenuhnya oleh rakyatnya. Di negara demokrasi, dimana Kekuasaan adalah ditangan rakyat, maka jalan menuju Kekuasaa selain melalui jalur birokrasi biasanya ditempuh melalui jalur partai politik. Partai partai politik berusaha untuk merebut konsituen dalam masa pemilu. Partai politik selanjutnya mengirimkan calon anggota untuk mewakili partainya dalam lembaga legislatif. Dalam pemilihan umum legislatif secara langsung seperti yang terjadi di Indonesia dalam Pemilu 2004 maka calon anggota legislatif dipilih langsung oleh rakyat. Kekuasaan cenderung korup adalah ungkapan yang sering kita dengar, atau dalam bahasa Inggrisnya adalah Power tends to corrupct. Apa benar?? Memang belum tentu benar, tetapi ungkapan tersebut tentu telah melalui penelitian dan pengalaman bertahun tahun.
Bentuk-bentuk negara dan pemerintahan
Bentuk Negara Negara kesatuan : Suatu negara yang mereka dan berdaulat, yang berkuasa satu pemerintah pusat yang menatur seluruh daerah secara totalitas. Bentuk negara ini tidak terdiri atas beberapa negara, yang menggabungkan diri sedemikian rupa hingga menjadi satu negara yang negara-negara itu mempunya status bagian-bagian. Negara Kesatuan dapat berbentuk : Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi, dimana segala sesuatu dalam negara itu langsung diatur dan diurs oleh pemeintah pusat dan daerah-daerah tinggal melaksanakannya. Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, dimana kepala daerah diberikan kesempatan dan kekuasaan untuk mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah) yang dinamakan daerah swatantra. Negara Serikat (Federasi) : Suatu negara yang merupakan gabungan dari beberapa negara yang menjadi negara-negara bagian dari negara serikat itu. Negara-negara bagian itu asala mulanya adalah suatu negara yang merdeka dan berdaulat serta berdiri sendiri. Dengan menggabungkan diri dengan negara serikat, berarti ia telah melepaskan sebagian kekuasaanna dengan menyerahkan kepada negara serikat itu. Kekuasaan yang diserahkan itu disebutkan satu demi satu (limiatif) yang merupakan delegated powers (kekuasaan yang didelegasikan). Kekuasaan Asli ada pada negara bagian karena berhbungan langsung dengan rakyatnya. Penyerahan kekuasaannya kepada negara serikat adlah hal-hal yang berhubungan dengan hubungan luar negeri. Pertahanan Negara, Keuangan, dan urusan Pos. Dapat juga diartikan bahwa bidang kegiatan pemerintah federasi adalah urusan-urusan selebihnya dari pemerintah negara-negara bagian (residuary powers).
Bentuk Pemerintahan
Kerjaan (Monarki) adalah suatu negara yang kepala negaranya adalah seorang Raja, Sultan, atau Kaisar dan Ratu. Kepala negara diangkat (dinobatkan) secara turun-temurun dengan memilih putera/puteri tertua (sesuai dengan budaya setempat) dari isteri yang sah (permaisuri) Ada beberapa macam kerjaan (Monarki) Monarki Mutlak, yaitu seluruh kekuasan negara berada di tangan rajam yang mempunyai kekuasaan dan wewenang yang tidak terbatas, yang mutlak. Perintah raja merupakan undang-undang yang harus dilaksanakan. Kehendak negara adalah Kehendak Rja (I’etat c’est moi) Monarki Konstitusional yaitu suatu monarki, dimana kekuasaan raja itu dibatasi oleh suatu konstitusi (undang-undang dasar) raja tidak boleh b erbuat sesuatu yang bertentangan dengan Konstitusi dan segala perbuatannya harus berdasarkan dan harus sesuai dengan kontitusi Monarki palementer yaitu suatu monarki, dimana terdapat perlemen terhadap badan mana paramentri bai perseorangan maupun secara keseluruhan bertanggung ajawab sepenuhnya dalam system perlemen, raja , kepala Negara itu merupakan lambing kesatuan Negara yang tidak dapat diganggu gugat (the king can do no wrong) yang bertanggung jawab atas kebijakan pemerintah menteri baik bersama-sama untuk keseluruhan maupun seorangan untuk porto polionya sendiri(system tanggung jawab (menteri) Yang dimaksud dengan republic adalah Negara dimana kepala negaranya seorang presiden republic dapat kita bedakan dalam 2 bentuk yaitu serikat dan kesatuan seperti juga dalam Negara kerajaan Negara rebuplik juga dapat memiliki perdana menteri (PM) yang sudah barang tentu presideng terpilih tidak lebih dari seorang symbol kecuali system pemerintahannya memberikan posisi dominant kepada presiden yaitu dengan jalan tidak dapat dijatuhkan presiden oleh mosi tidak percaya parlemen hal ini dicantumkan oleh kontitusi Negara tersebut : Sama hal nya monarki republik itu dapat dibagi menjadi: Republik mutlak (absolute) Republik konstitusi Repulik parlemen Aristoteles , filosofi klasik tunani ternama membagi Negara dalam bentuk pemerintahnya sebagai berikut. Monarki :pimpinan (pemerintah)tertinggi negara terletak ditangan satu orang (mono : satu archein : pemerintah). ologarki : pimpinan (pemerintah ) Negara terletak dalam tangan beberapa orang biasa nya daro kalangan golongan fendal , golonga yang berkuasa). demokrasi : pimpinan (pemeriontah) tertinggi Negara terletak ditangan rakyat (demos : rakyat).
Jenis Kekuasaan, Bentuk Negara dan Sistem Pemerintahan
Dalam mempelajari ilmu politik kita kerap ‘dipusingkan’ oleh berbagai macam istilah yang satu sama lain saling berbeda. Peristilahan yang seringkali ditemukan tersebut misalnya monarki, tirani, aristokrasi, oligarki, demokrasi, mobokrasi, federasi, kesatuan, konfederasi, presidensil, dan parlementer. Bagaimana kita harus mengkategorikan masing-masing istilah tersebut? Apa beda antara monarki dengan parlementer? Sama atau berbedakah pengertian antara tirani dengan monarki? Dalam konteks apa kita berbicara mengenai presidensil atau oligarki? ‘Pemusingan’ ini merupakan awal dari proses belajar, dan jangan kita surut, melainkan terus maju dengan membaca. Jika kita berbicara mengenai monarki, tirani, aristokrasi, oligarki, demokrasi, dan mobokrasi, berarti kita tengah berbicara mengenai jenis-jenis kekuasaan. Jika kita berbicara mengenai federasi, kesatuan, dan konfederasi, berarti kita tengah berbicara mengenai bentuk-bentuk negara. Jika kita berbicara mengenai presidensil dan parlementer berarti kita tengah berbicara mengenai bentuk-bentuk pemerintahan. Jika kita berbicara mengenai jenis kekuasaan, berarti kita tengah berbicara mengenai apakah kekuasaan itu dipegang oleh satu tangan (mono), beberapa tangan atau orang (few), ataukah banyak tangan atau orang (many). Definisi kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi pihak lain agar mereka menuruti keinginan atau maksud si pemberi pengaruh. Dalam hal ini, pihak pemberi pengaruh dapat berwujud mono, few, atau many. Jika kita berbicara mengenai bentuk negara, berarti kita tengah membicarakan bagaimana sifat atau hubungan antara kekuasaan pusat saat berhadapan dengan daerah. Hubungan seperti ini disebut pula sebagai hubungan vertikal, artinya ‘pusat’ diasumsikan berada di atas ‘daerah’, dalam mana keberadaan pusat di ‘atas’ tersebut berbeda derajatnya baik di negara kesatuan, federasi, atau konfederasi. Akhirnya, jika kita berbicara mengenai bentuk pemerintahan, berarti kita tengah berbicara mengenai kekuasaan dalam arti horizontal, khususnya seputar hubungan antara legislatif dengan eksekutif. Legislatif dan eksekutif, dalam doktrin Trias Politika adalah setara, yang satu tidak lebih berkuasa atau lebih tinggi posisinya ketimbang yang lain. Dalam hubungan horizontal inilah kita akan menemui pembicaraan mengenai presidensil atau parlementer. A. Jenis-Jenis Kekuasaan 1. Monarki dan Tirani Monarki berasal dari kata ‘monarch’ yang berarti raja, yaitu jenis kekuasaan politik di mana raja atau ratu sebagai pemegang kekuasaan dominan negara (kerajaan). Para pendukung monarki biasanya mengajukan pendapat bahwa jenis kekuasaan yang dipegang oleh satu tangan ini lebih efektif untuk menciptakan suatu stabiltas atau konsensus di dalam proses pembuatan kebijakan. Perdebatan yang bertele-tele, pendapat yang beragam, atau persaingan antarkelompok menjadi relatif terkurangi oleh sebab cuma ada satu kekuasaan yang dominan. Negara-negara yang menerapkan jenis kekuasaan monarki hingga saat ini adalah Inggris, Swedia, Denmark, Belanda, Norwegia, Belgia, Luxemburg, Jepang, Muangthai, dan Spanyol. Di negara-negara ini, monarki menjadi instrumen pemersatu yang cukup efektif, misalnya sebagai simbol persatuan antar berbagai kelompok yang ada di tengah masyarakat. Kita perhatikan negara yang modern dan maju seperti Inggris dan Jepang pun masih menerapkan sistem monarki. Namun, di negara-negara ini, penguasa monarki harus berbagi kekuasaan dengan pihak lain, terutama parlemen. Proses berbagi kekuasaan tersebut dikukuhkan lewat konstitusi (Undang-undang Dasar), dan sebab itu, monarki di era negara-negara modern sesungguhnya bukan lagi absolut melainkan bersifat monarki konstitusional. Bahkan, kekuasaannya hanya bersifat simbolik (sekadar kepala negara) ketimbang amat menentukan praktek pemerintahan sehari-hari (kepala pemerintahan). Di ke-10 negara monarki yang telah disebut di atas, pihak yang relatif lebih berkuasa untuk menentukan jalannya pemerintahan adalah parlemen dengan perdana menteri sebagai kepala pemerintahannya. Jenis monarki lainnya yang kini masih ada adalah Arab Saudi. Negara ini berupa kerajaan dan raja adalah sekaligus kepala negara dan pemerintahan. Kekuasaan raja tidak dibatasi secara konstitusional, tidak ada partai politik dan oposisi di sana. Pola kekuasaan di Arab Saudi juga dikenal sebagai dinasti (Dinasti al-Saud), di mana pewaris raja adalah keturunannya. Bentuk pemerintahan yang buruk di dalam satu tangan adalah Tirani. Tiran-tiran kejam yang pernah muncul dalam sejarah politik dunia misalnya Kaisar Nero, Caligula, Hitler, atau Stalin. Meskipun Hitler atau Stalin memerintah di era negara modern, tetapi jenis kekuasaan yang mereka jalankan pada hakekatnya terkonsentrasi pada satu tangan, di mana keduanya sama sekali tidak mau membagi kekuasaan dengan pihak lain, dan kerap kali bersifat kejam baik terhadap rakyat sendiri maupun lawan politik. 2. Aristokrasi dan Oligarki Dalam jenis kekuasaan monarki, raja atau ratu biasanya bergantung pada dukungan yang diberikan oleh para penasihat dan birokrat. Jika kekuasaan lebih banyak ditentukan oleh orang-orang ini (penasihat dan birokrat) maka jenis kekuasaan tidak lagi berada pada satu orang (mono) melainkan beberapa (few). Aristokrasi sendiri merupakan pemerintahan oleh sekelompok elit (few) dalam masyarakat, di mana mereka ini mempunyai status sosial, kekayaan, dan kekuasaan politik yang besar. Ketiga hal ini dinikmati secara turun-temurun (diwariskan), menurun dari orang tua kepada anak. Jenis kekuasaan aristokrasi ini disebut pula sebagai jenis kekuasaan kaum bangsawan (aristokrasi). Biasanya, di mana ada kelas aristokrat yang dominan secara politik, maka di sana ada pula monarki. Namun, jenis kekuasaan oleh beberapa orang ini —aristokrasi— tidak bertahan lama, oleh sebab orang-orang yang orang tuanya bukan bangsawan pun bisa duduk mempengaruhi keputusan politik negara asalkan mereka berprestasi, kaya, berpengaruh, dan cerdik. Jika kenyataan ini terjadi, yaitu peralihan dari kekuasaan para bangsawasan ke kelompok non-bangsawan, maka hal tersebut dinyatakan sebagai peralihan atau pergeseran dari aristokrasi menuju oligarki. Untuk menggambarkan peralihan di atas, baiklah kami kemukakan apa yang terjadi di Inggris. Sebelum terjadinya Revolusi Industri padaa abad ke-18 —tepatnya sebelum mesin uap ditemukan oleh James Watt— Inggris menganut jenis kekuasaan monarki dengan kaum bangsawasan (aristokrat) sebagai pemberi pengaruh yang besar. Namun, setelah Revolusi Industri mulai menunjukkan efek, yaitu berupa munculnya kelas menengah baru (pengusaha baru yang kekayaan diperoleh sendiri bukan diwariskan), maka kekuasaan kaum bangsawasan dalam mempengaruhi kekuasaan monarki mulai ‘digerogoti.’ Kelas menengah baru ini mulai menentukan jalannya kekuasaan di parlemen, dan, pengaruh kaum ‘Orang Kaya Baru’ ini dinyatakan sebagai jenis kekuasaan oligarki. Hingga saat ini, di parlemen Inggris terdapat dua kamar yaitu House of Lords dan House of Commons. Kamar yang pertama berisikan kaum bangsawan (namanya didahului dengan Sir), sementara yang kedua banyak diisi oleh kaum kaya yang berpengaruh, meskipun mereka bukan berdarah bangsawan. House of Commons lebih menentukan jalannya parlemen Inggris ketimbang House of Lords. Dengan demikian, oligarki-lah yang lebih berkuasa di Inggris ketimbang aristokrasi pada masa kini. 3. Demokrasi dan Mobokrasi Jika kekuasaan dipegang oleh seluruh rakyat, bukan oleh mono atau few, maka kekuasaan tersebut dinamakan demokrasi. Di dalam sejarah politik, jenis kekuasaan demokrasi yang dikenal terdiri dari dua kategori. Kategori pertama adalah demokrasi langsung (direct democracy) dan demokrasi perwakilan (representative democracy). Demokrasi langsung berarti rakyat memerintah dirinya secara langsung, tanpa perantara. Salah satu pendukung demokrasi langsung adalah Jean Jacques Rousseau, di mana Rousseau ini mengemukakan 4 kondisi yang memungkinkan bagi dilaksanakannya demokrasi langsung yaitu : Jumlah warganegara harus kecil. Pemilikan dan kemakmuran harus dibagi secara merata (hampir merata). Masyarakat harus homogen (sama) secara budaya. Terpenuhi di dalam masyarakat kecil yang bermata pencaharian pertanian. Pertanyaan kemudian adalah: Mungkinkan keadaan yang digambarkan Rousseau itu ada di era negara modern saat ini? Jumlah warganegara negara-negara di dunia rata-rata berada di atas jumlah 1-2 juta jiwa, pemilikan harta sama sekali tidak merata, secara budaya masyarakat relatif heterogen (beragam) yang ditambah dengan infiltrasi budaya asing, dan pencaharian penduduk dunia tengah beralih dari pertanian ke industri. Masih mungkinkah demokrasi langsung dilaksanakan? Di dalam demokrasi langsung, memang kedaulatan rakyat lebih terpelihara oleh sebab kekuasaannya tidak diwakilkan. Semua warganegara ikut terlibat di dalam proses pengambilan keputusan, tanpa ada yang tidak ikut serta. Namun, di zaman pelaksanaan demokrasi langsung sendiri, yaitu di masa negara-kota Yunani Kuno, ada beberapa kelompok masyarakat yang tidak diizinkan untuk ikut serta di dalam proses demokrasi langsung yaitu: budak, perempuan, dan orang asing. Dengan alasan kelemahan demokrasi langsung, terutama oleh ketidakrealistisannya untuk diberlakukan dalam keadaan negara modern, maka demokrasi yang saat ini dikembangkan adalah demokrasi perwakilan. Di dalam demokrasi perwakilan, tetap rakyat yang memerintah. Namun, itu bukan berarti seluruh rakyat berbondong-bondong datang ke parlemen atau istana negara untuk memerintah atau membuat UU. Tentu tidak demikian. Rakyat terlibat secara ‘total’ di dalam mekanisme pemilihan pejabat (utamanya anggota parlemen) lewat Pemilihan Umum periodik (misal: 4 atau 5 tahun sekali). Dengan memilih si anggota parlemen, rakyat tetap berkuasa untuk membuat UU, akan tetapi keterlibatan tersebut melalui si wakil. Wakil ini adalah orang yang mendapat delegasi wewenang dari rakyat. Di Indonesia, 1 orang wakil rakyat (anggota parlemen) kira-kira mewakili 300.000 orang pemilih. Dengan demokrasi perwakilan, rakyat tidak terlibat secara penuh di dalam membuat UU negara. Misalnya saja, dari hampir 200 juta jiwa warganegara Indonesia, proses pemerintahan demokrasi di tingkat parlemen hanya dilakukan oleh 500 orang wakil rakyat yang duduk menjadi anggota DPR. Bandingkan kalau saja Indonesia menerapkan demokrasi langsung di mana 200 juta rakyat Indonesia duduk di parlemen. Kacau dan pasti memakan biaya mahal, bukan? Dengan kenyataan ini maka demokrasi perwakilan lebih praktis ketimbang demokrasi langsung. Dalam demokrasi, baik langsung ataupun tidak langsung, keterlibatan rakyat menjadi tujuan utama penyelenggaraan negara. Masing-masing individu rakyat pasti ingin kepentinganyalah yang terlebih dahulu dipenuhi. Oleh sebab keinginan tersebut ingin didahulukan, dan pihak lain pun sama, dan jika hal ini berujung pada situasi chaos (kacau) bahkan perang (bellum omnium contra omnes --- perang semua lawan semua), maka bukan demokrasi lagi namanya melainkan mobokrasi. Mobokrasi adalah bentuk buruk dari demokrasi, di mana rakyat memang berdaulat tetapi negara berjalan dalam situasi perang dan tidak ada satu pun kesepakatan dapat dibuat secara damai. 4. Timokrasi Menurut Stanley Rosen, Timokrasi adalah jenis kekuasaan yang pernah disebutkan oleh Sokrates, filosof Yunani. Timokrasi dirujuk Sokrates dalam menggambarkan rezim pemerintahan negara kota Sparta. Konsep ini mengacu pada “timocratic man”, yaitu seseorang yang gandrung akan kemenangan dan kehormatan. Timokrasi terletak di posisi tengah antara Aristokrasi dan Oligarki. Juga disebutkan Timokrasi adalah Aristokrasi yang tengah mengalami kemerosotan ke arah jenis kekuasaan Oligarki. Jika Aristokrasi adalah jenis pemerintahan ideal, penuh keberanian dan kehormatan dalam pemerintahan. Namun, tatkala keberanian dan kehormatan dari kekuasaan di tangan beberapa orang atau kelompok ini (aristokrasi) mulai diwarnai motivasi kesejahteraan pribadi atau kelompok, maka dimulaikan Timokrasi. Timokrasi bukan Oligarki, oleh sebab di dalam Timokrasi, menurut Sokrates, masih meniru Aristokrasi. Barulah, tatkala proses peniruan kualitatif atas Aristokrasi tidak lagi terjadi, Timokrasi merosot menjadi Oligarki. 5. Oklokrasi Mirip dengan definisi Mobokrasi. Oklokrasi adalah situasi negara dalam anarki massa. Pemerintahan ini tidak legal dan konstitusional. Namun, karena --biasanya-- kelompok-kelompok massa tersebut punya senjata atau massa besar, mereka memerintah memanfaatkan rasa takut. Amerika Serikat tahun 1930-an hampir masuk ke dalam kategori ini, di mana keluarga-keluarga mafia mengendalikan negara secara ilegal dan inkonstitusional. 6. Plutokrasi Plutokrasi adalah jenis kekuasaan di mana negara “disetir” oleh orang-orang kaya. Plutokrasi ini mirip dengan Oligarki. Namun, Plutokrasi terjadi tatkala tercipta suatu kondisi ekstrim ketimpangan antara “kaya” dan “miskin” di dalam suatu negara. Plutokrat (penguasa dalam Plutokrasi) tidak hanya menguasai sumber-sumber ekonomi dan politik, melainkan juga sumber-sumber militer (pasukan, senjata, teknologi). Dalam kondisi seperti ini, Plutokrat biasanya, secara de facto, lebih berkuasa ketimbang pemerintah resmi. 7. Kleptokrasi Kleptokrasi adalah jenis kekuasaan dimana pejabat publik menggunakan kekuasaan publiknya untuk mencuri kekayaan negara (korupsi otomatis). Kleptokrasi juga disebut sebagai korupsi yang dilakukan oleh para pejabat tingkat tinggi yang secara sistematis menggunakan posisinya untuk mengalirkan dana publik ke dalam kantong-kantong pribadinya. Semakin massal tindak korupsi oleh para pejabat publik, maka semakin mendekati suatu negara menganut jenis pemerintahan Kleptokrasi. B. Bentuk-Bentuk Negara Bentuk-bentuk negara yang dikenal hingga saat ini terdiri dari tiga bentuk yaitu Konfederasi, Kesatuan, dan Federal. Meskipun demikian, bentuk negara Konfederasi kiranya jarang diterapkan di dalam bentuk-bentuk negara pada masa kini. Namun, untuk keperluan analisis, baiklah di dalam materi kuliah ini dicantumkan pula masalah Konfederasi minimal untuk lebih meluaskan wawasan kita mengenai bentuk-bentuk negara yang ada. 1. Negara Konfederasi Bagi L. Oppenheim, “konfederasi terdiri dari beberapa negara yang berdaulat penuh yang untuk mempertahankan kedaulatan ekstern (ke luar) dan intern (ke dalam) bersatu atas dasar perjanjian internasional yang diakui dengan menyelenggarakan beberapa alat perlengkapan tersendiri yang mempunyai kekuasaan tertentu terhadap negara anggota Konfederasi, tetapi tidak terhadap warganegara anggota Konfederasi itu.” Menurut kepada definisi yang diberikan oleh L. Oppenheim di atas, maka Konfederasi adalah negara yang terdiri dari persatuan beberapa negara yang berdaulat. Persatuan tersebut diantaranya dilakukan demi mempertahankan kedaulatan dari negara-negara yang masuk ke dalam Konfederasi tersebut. Pada tahun 1963, Malaysia dan Singapura pernah membangun suatu Konfederasi, yang salah satunya dimaksudkan untuk mengantisipasi politik luar negeri yang agresif dari Indonesia di masa pemerintahan Sukarno. Malaysia dan Singapura mendirikan Konfederasi lebih karena alasan pertahanan masing-masing negara. Dalam Konfederasi, aturan-aturan yang ada di dalamnya hanya berefek kepada masing-masing pemerintah (misal: pemerintah Malaysia dan Singapura), dengan tidak mempengaruhi warganegara (individu warganegara) Malaysia dan Singapura. Meskipun terikat dalam perjanjian, pemerintah Malaysia dan Singapura tetap berdaulat dan berdiri sendiri tanpa intervensi satu negara terhadap negara lainnya di dalam Konfederasi. Miriam Budiardjo menjelaskan bahwa Konfederasi itu sendiri pada hakekatnya bukan negara, baik ditinjau dari sudut ilmu politik maupun dari sudut hukum internasional. Keanggotaan suatu negara ke dalam suatu Konfederasi tidaklah menghilangkan ataupun mengurangi kedaulatan setiap negara yang menjadi anggota Konfederasi. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat skema berikut : Garis putus-putus yang melambangkan ‘rantai komando’ dari Konfederasi menuju Pemerintah Negara A, B, dan C, dimaksudkan guna menunjukkan hirarki yang kurang tegas antara kedua ‘negara’ tersebut (tanpa petunjuk panah plus garis putus-putus). Dapat dilihat misalnya, garis ‘komando’ hanya beranjak dari Konfederasi menuju pemerintah negara A, B, dan C, tetapi tidak pada warganegara di ketiga negara. Garis ‘komando’ langsung terhadap warganegara di masing-masing negara dilakukan oleh pemerintah masing-masing. Kesediaan pemerintah ketiga negara berdaulat untuk bergabung ke dalam konfederasi lebih disebabkan oleh motivasi sukarela ketimbang kewajiban. Pengaruh Konfederasi terhadap ketiga negara berdaulat (A, B, dan C) hanya bersifat kecil saja. Mengenai ‘lingkaran’ yang melingkupi masing-masing pemerintah dan negara bagaian mengindikasikan kedaulatan yang tetap ada di masing-masing negara anggota Konfederasi. 2. Kesatuan Negara Kesatuan adalah negara yang pemerintah pusat atau nasional memegang kedudukan tertinggi, dan memiliki kekuasaan penuh dalam pemerintahan sehari-hari. Tidak ada bidang kegiatan pemerintah yang diserahkan konstitusi kepada satuan-satuan pemerintahan yang lebih kecil (dalam hal ini, daerah atau provinsi). Dalam negara Kesatuan, pemerintah pusat (nasional) bisa melimpahkan banyak tugas (melimpahkan wewenang) kepada kota-kota, kabupaten-kabupaten, atau satuan-satuan pemerintahan lokal. Namun, pelimpahan wewenang ini hanya diatur oleh undang-undang yang dibuat parlemen pusat (di Indonesia DPR-RI), bukan diatur di dalam konstitusi (di Indonesia UUD 1945), di mana pelimpahan wewenang tersebut bisa saja ditarik sewaktu-waktu. Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi, di mana ini dikenal pula sebagai desentralisasi. Namun, kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan pemerintah pusat dan dengan demikian, baik kedaulatan ke dalam maupun kedaulatan ke luar berada pada pemerintah pusat. Miriam Budiardjo menulis bahwa yang menjadi hakekat negara Kesatuan adalah kedaulatannya tidak terbagi dan tidak dibatasi, di mana hal tersebut dijamin di dalam konstitusi. Meskipun daerah diberi kewenangan untuk mengatur sendiri wilayahnya, tetapi itu bukan berarti pemerintah daerah itu berdaulat, sebab pengawasan dan kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat-lah sesungguhnya yang mengatur kehidupan setiap penduduk daerah. Keuntungan negara Kesatuan adalah adanya keseragaman Undang-Undang, karena aturan yang menyangkut ‘nasib’ daerah secara keseluruhan hanya dibuat oleh parlemen pusat. Namun, negara Kesatuan bisa tertimpa beban berat oleh sebab adanya perhatian ekstra pemerintah pusat terhadap masalah-masalah yang muncul di daerah. Penanganan setiap masalah yang muncul di daerah kemungkinan akan lama diselesaikan oleh sebab harus menunggu instruksi dari pusat terlebih dahulu. Bentuk negara Kesatuan juga tidak cocok bagi negara yang jumlah penduduknya besar, heterogenitas (keberagaman) budaya tinggi, dan yang wilayahnya terpecah ke dalam pulau-pulau. Untuk lebih memperjelas masalah negara Kesatuan ini, baiklah kami buat skema berikut : Ada sebagian kewenangan yang didelegasikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, yang dengan kewenangan tersebut pemerintah daerah mengatur penduduk yang ada di dalam wilayahnya. Namun, pengaturan pemerintah daerah terhadap penduduk di wilayahnya lebih bersifat ‘instruksi dari pusat’ ketimbang improvisasi dan inovasi pemerintah daerah itu sendiri. Dalam negara Kesatuan, pemerintah pusat secara langsung mengatur masing-masing penduduk yang ada di setiap daerah. Misalnya, pemerintah pusat berwenang menarik pajak dari penduduk daerah, mengatur kepolisian daerah, mengatur badan pengadilan, membuat kurikulum pendidikan yang bersifat nasional, merelay stasiun televisi dan radio pemerintah ke seluruh daerah, dan bahkan menunjuk gubernur kepala daerah. 3. Federasi Negara Federasi ditandai adanya pemisahan kekuasaan negara antara pemerintahan nasional dengan unsur-unsur kesatuannya (negara bagian, provinsi, republik, kawasan, atau wilayah). Pembagian kekuasaan ini dicantumkan ke dalam konstitusi (undang-undang dasar). Sistem pemerintahan Federasi sangat cocok untuk negara-negara yang memiliki kawasan geografis luas, keragaman budaya daerah tinggi, dan ketimpangan ekonomi cukup tajam. Apakah ada perbedaan antara Konfederasi dengan Federasi ? Ya, ada! Negara-negara yang menjadi anggota suatu Konfederasi tetap merdeka sepenuhnya atau berdaulat, sedangkan negara-negara yang tergabung ke dalam suatu Federasi kehilangan kedaulatannya, oleh sebab kedaulatan ini hanya ada di tangan pemerintahan Federasi. Di Amerika Serikat, terdapat 50 negara bagian semisal Alabama, New Hampshire, New Mexico, Maine, Utah, Wisconsin, South Dakota, Wyoming, West Virginia, Nevada, New Jersey, Florida, Hawaii, Alaska, New Mexico, California, Kansas, Phoenix, Nebraska, Pennsylvania, atau Texas. Negara-negara bagian ini tidaklah berdaulat sendiri-sendiri melainkan kedaulatan tersebut hanya ada di tangan pemerintah Federasi yang dikenal sebagai United States of America (Amerika Serikat) dengan ibukotanya di Washington D.C. (District Columbia) itu! Bagaimana selanjutnya, adakah perbedaan antara negara Federasi dengan negara Kesatuan ? Ya, juga ada! Negara-negara bagian suatu Federasi memiliki wewenang untuk membentuk undang-undang dasar sendiri serta pula wewenang untuk mengatur bentuk organisasi sendiri dalam batas-batas konstitusi federal, sedangkan di dalam negara Kesatuan, organisasi pemerintah daerah secara garis besar telah ditetapkan oleh undang-undang dari pusat. Selanjutnya pula, dalam negara Federasi, wewenang membentuk undang-undang pusat untuk mengatur hal-hal tertentu telah terperinci satu per satu dalam konstitusi Federal, sedangkan dalam negara Kesatuan, wewenang pembentukan undang-undang pusat ditetapkan dalam suatu rumusan umum dan wewenang pembentukan undang-undang lokal tergantung pada badan pembentuk undang-undang pusat itu. Berikut hirarki negara Federasi : Di dalam negara Federasi, kedaulatan hanya milik pemerintah Federal, bukan milik negara-negara bagian. Namun, wewenang negara-negara bagian untuk mengatur penduduk di wilayahnya lebih besar ketimbang pemerintah daerah di negara Kesatuan. Wewenang negara bagian di negara Federasi telah tercantum secara rinci di dalam konstitusi federal, misalnya mengadakan pengadilan sendiri, memiliki undang-undang dasar sendiri, memiliki kurikulum pendidikan sendiri, mengusahakan kepolisian negara bagian sendiri, bahkan melakukan perdagangan langsung dengan negara luar seperti pernah dilakukan pemerintah Indonesia dengan negara bagian Georgia di Amerika Serikat di masa Orde Baru. Kendatipun negara bagian memiliki wewenang konstitusi yang lebih besar ketimbang negara Kesatuan, kedaulatan tetap berada di tangan pemerintah Federal yaitu dengan monopoli hak untuk mengatur Angkatan Bersenjata, mencetak mata uang, dan melakukan politik luar negeri (hubungan diplomatik). Kedaulatan ke dalam dan ke luar di dalam negara Federasi tetap menjadi hak pemerintah Federal bukan negara-negara bagian. Korelasi Demografis dengan Bentuk Negara dan Pemerintahan Guna memperlihatkan korelasi antara bentuk negara, luas wilayah, jumlah penduduk, bentuk pemerintahan, dan bentuk negara, di bawah ini kami cantumkan 20 negara dari beragam belahan dunia. Perhatikan tabel di bawah ini : Dari tabel di atas dapat kita sama-sama lihat bahwa negara-negara dengan luas wilayah besar (di atas 1 juta kilometer persegi), biasanya memilih bentuk negara Federasi, kecuali Indonesia, Mesir, dan Bolivia. Namun, antara Indonesia, Mesir dan Bolivia terdapat sejumlah perbedaan. Indonesia terpecah ke dalam pulau-pulau di mana penduduk di masing-masing pulau tersebut memiliki budaya yang saling berbeda. Sementara Mesir dan Bolivia seluruh wilayahnya berada di daratan. Jumlah penduduk Bolivia dan Mesir pun jauh berada di bawah jumlah penduduk Indonesia. Anda pun dapat menganalisis berdasarkan tabel di atas khususnya sehubungan dengan masalah keragaman budaya di masing-masing negara dengan pemilihan bentuk negara (Federasi atau Kesatuan). Di Indonesia sendiri, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam telah diberi hak untuk menerapkan sistem hukum sendiri (syariat Islam), tetapi tetap tidak diperbolehkan memiliki angkatan perang, mata uang, dan melakukan politik luar negeri sendiri. Apakah Indonesia tengah berjalan menuju bentuk negara Federasi atau tidak? Bagaimana argumentasi Anda? C. Bentuk Pemerintahan Pengantar. Pemerintahan tidak sekedar menyangkut pihak eksekutif, melainkan juga eksekutif. Dalam pembicaraan mengenai bentuk pemerintahan, kita sekaligus menelaah hubungan antara badan eksekutif dengan legislatif. Pembicaraan ini juga menyangkut bagaimana proses perekrutan anggota eksekutif dan legislatif di suatu negara. Dua bentuk pemerintahan yang paling luas digunakan negara-negara di dunia adalah Parlementer dan Presidensil. Kedua bentuk tersebut memiliki mekanisme perekrutan yang berbeda satu dengan lainnnya. 1. Bentuk Pemerintahan Parlementer Dalam sistem Parlementer, warganegara tidak memilih kepala negara secara langsung. Mereka memilih anggota-anggota dewan perwakilan rakyat, yang diorganisasi ke dalam satu atau lebih partai politik. Umumnya, sistem Parlementer mengindikasikan hubungan kelembagaan yang erat antara eksekutif dan legislatif. Kepala pemerintahan dalam sistem Parlementer adalah perdana menteri (disebut Premier di Italia atau Kanselir di Jerman). Perdana menteri memilih menteri-menteri serta membentuk kabinet berdasarkan suatu ‘mayoritas’ dalam parlemen (berdasarkan jumlah suara yang didapat masing-masing partai di dalam Pemilu). Untuk lebih memberi kejelasan mengenai sistem Parlementer ini, baiklah digambarkan terlebih dahulu skema berikut : Dalam bentuk pemerintahan parlementer, pemilu hanya diadakan satu macam yaitu untuk memilih anggota parlemen. Lewat mekanisme pemilihan umum, warganegara memilih wakil-wakil mereka untuk duduk di parlemen. Wakil-wakil yang mereka pilih tersebut merupakan anggota dari partai-partai politik yang ikut serta di dalam pemilihan umum. Jika sebuah partai memenangkan suara secara mayoritas (misalnya 51% suara pemilih), maka secara otomatis, ketua partai tersebut menjadi perdana menteri. Selanjutnya, tugas yang harus dilakukan si perdana menteri ini adalah membentuk kabinet, di mana anggota-anggota kabinet diajukan oleh para anggota parlemen terpilih, sehingga anggota kabinet dapat berasal baik dari partainya sendiri maupun partai saingannya yang punya jumlah suara signifikan. Menteri-menteri inilah yang nantinya mengarahkan atau mengepalai kementerian-kementerian yang dibentuk. Jika pemilu tidak menghasilkan jumlah suara mayoritas (misalnya 30% hingga 50%), maka partai-partai harus berkoalisi untuk kemudian memilih siapa perdana menterinya. Biasanya, partai dengan jumlah suara paling besar-lah yang ketua partainya menjadi perdana menteri di dalam koalisi (kabinet koalisi). Susunan kabinet pun, dengan koalisi ini, tidak bisa dimonopoli oleh satu partai saja, layaknya ketika pemilu menghasilkan suara mayoritas 51%. Masing-masing partai yang berkoalisi biasanya menuntut ‘jatah’ menteri sesuai dengan jumlah suara yang mereka hasilkan dalam pemilu. Untuk selanjutnya, perdana menteri (beserta kabinetnya) bertanggung jawab kepada parlemen sebagai representasi rakyat hasil pemilihan umum. Dalam bentuk parlementer, perdana menteri menjadi kepala pemerintahan sekaligus pemimpin partai. Dalam sistem parlementer, partai yang menang dan masuk ke dalam kabinet menjadi ‘pemerintah’ sementara yang tetap berada di dalam parlemen menjadi ‘oposisi.’ Hal yang menarik adalah, anggota-angggota parlemen yang menjadi oposisi membentuk semacam ‘kabinet bayangan.’ Jika kabinet pemerintah ‘jatuh’, maka ‘kabinet bayangan’ inilah yang akan menggantikannya lewat pemilu ‘yang dipercepat’ atau pemilihan perdana menteri baru. Sistem ‘kabinet bayangan’ ini berlangsung efektif di Inggris di mana ‘kabinet bayangan’ tersebut bekerja layaknya kabinet pemerintah dan … digaji pula. Matthew Soberg Shugart menyatakan bahwa, bentuk pemerintahan parlementer murni adalah sebagai berikut : Executive authority, consisting of a prime minister and cabinet, arises out of the legislative assembly; The executive is at all times subject to potential dismissal via a vote of “no confidence” by a majority of the legislative assembly. Shugart menekankan bahwa hubungan antara legislatif dan eksekutif dalam parlementer bersifat hirarkis. Dalam poin 1, otoritas eksekutif terdiri atas perdana menteri dan kabinet. Keduanya lahir dari parlemen (legislatif). Karena keduanya lahir dari parlemen, maka baik perdana menteri ataupun anggota kabinet merupakan sasaran potensial bagi “mosi tidak percaya” yang disuarakan oleh parlemen. Mudahnya, posisi perdana menteri dan para menterinya amat bergantung pada kepercayaan politik yang diberikan para anggota parlemen. Sebab itu, secara hirarkis, posisi perdana menteri dan anggota kabinet ada di bawah parlemen atau, eksekutif berada di bawah legislatif. Shugart juga menambahkan bahwa sistem pemerintahan Parlementer punya 2 varian, yaitu : (1) Parlementer Mayoritas dan (2) Parlementer Transaksional. Parlementer Mayoritas. Sistem ini berkembang kala satu partai memperoleh mayoritas kursi di parlemen. Jika terjadi kondisi seperti ini, maka hubungan antara legislatif dan eksekutif bersifat hirarkis di mana legislatif berada di atas eksekutif. Kajian yang dilakukan Walter Bagehot (1867-1963) menunjukkan derajat hirarkis seperti ini masih terjadi antara kepemimpinan partai mayoritas di dalam parlemen terhadap eksekutif. Namun, pasca Bagehot muncul keadaan di mana konsentrasi kekuasaan ada di tangan kepemimpinan partai mayoritas (partai itu sendiri) ketimbang kepemimpinan partai di dalam parlemen. Kondisi lain yang juga mengemuka, pimpinan partai yang duduk di dalam kabinet semakin beroleh otonomi yang lebih besar dan cenderung “lepas” dari sokongan politik mereka di parlemen. Ini misalnya terjadi di Inggris atau negara yang menganut demokrasi Westminster. Parlementer Transaksional. Jika tidak terdapat mayoritas di dalam parlemen, eksekutif dalam sistem parlementer akan terdiri dari koalisi. Kabinet dalam koalisi ini bertahan selama koalisi mampu menjamin mayoritas. Alternatif-nya, pemerintahan minoritas mungkin saja terbentuk, di mana kabinet tetap ada sejauh oposisi tidak membangun aliansi guna menghentikannya. Parlementer Transaksional ini bersifat hirarkis dalam rangka hubungan legislatif – eksekutif-nya. 2. Bentuk Pemerintahan Presidensil Presidensil cenderung memisahkan kepala eksekutif dari dewan perwakilan rakyat. Sangat sedikit media tempat di mana eksekutif dan legislatif dapat saling bertanya satu sama lain. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat skema presidensil di bawah ini : Dalam sistem presidensil, pemilu diadakan dua macam. Pertama untuk memilih anggota parlemen dan kedua untuk memilih presiden. Presiden inilah yang dengan hak prerogatifnya menunjuk pembantu-pembantunya, yaitu menteri-menteri di dalam kabinet. Pola penunjukkan menteri oleh presiden ini efektif di dalam sistem dua partai, di mana dengan dua partai yang bersaing tersebut, pasti salah satu partai akan menang secara mayoritas. Di dalam sistem banyak partai, penunjukkan menteri oleh presiden juga dapat efektif jika salah satu partai menang secara 51%. Di Indonesia yang bersistemkan presidensil, mekanisme penunjukkan anggota kabinet efektif di masa pemerintahanan Soeharto. Namun, di masa reformasi, pemenang pemilu, misalnya PDI-P, hanya mengantongi sekitar 35% suara, dan itu tidaklah mayoritas, sehingga di dalam menunjuk menteri-menteri Megawati harus mempertimbangkan pendapat dari partai-partai lain, apalagi yang punya suara cukup besar seperti Golkar, PPP, PAN, dan PKB. Di dalam sistem presidensil, presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen (DPR) tetapi langsung kepada rakyat. Sanksi jika presiden dianggap tidak ‘menrespon hati nurani rakyat’ dapat berujung pada dua jalan: pertama, tidak memilih lagi si presiden tersebut dalam proses pemilihan umumj, dan kedua, mengadukan pelanggaran-pelanggaran yang presiden lakukan kepada parlemen. Parlemen inilah yang nanti menggunakan hak kontrolnya untuk mempertanyan sikap-sikap presiden yang diadukan ‘rakyat’ tersebut. Jadi, berbeda dengan Parlementer —di mana jika si perdana menteri dianggap tidak bertanggung jawab, parlemen, terutama partai-partai oposisi, dapat mengajukan mosi tidak percaya kepada perdana menteri yang jika didukung oleh 51% suara parlemen, si perdana menteri tersebut beserta kabinetnya terpaksa harus mengundurkan diri— dalam sistem presidensil, hal seperti ini sulit untuk dilakukan mengingat yang memilih si presiden bukanlah parlemen melainkan rakyat secara langsung. Matthew Soberg Shugart menyatakan, bentuk murni dari presidensil adalah sebagai berikut : Eksekutif dikepalai oleh presiden yang dipilih rakyat secara langsung dan ia merupakan “kepala eksekutif.” Posisi eksekutif dan legislatif didefinisikan secara jelas dan keduanya tidak saling bergantung. Presiden memilih dan mengarahkan kabinet dan punya sejumlah kewenangan pembuatan legislasi yang diatur secara konstitusional. Bagi Shugart, posisi hubungan eksekutif dan legislatif adalah transaksional. Keduanya independen satu sama lain karena dipilih rakyat lewat dua pemilu berbeda. Posisi legislatif tidak lebih tinggi ketimbang eksekutif dan demikian pula sebaliknya. Namun, eksekutif dan legislatif terlibat dalam hubungan pertukaran (transaksional) seputar keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan politik bergantung permasalahan yang mengemuka. Varian bentuk sistem Presidensil terjadi bergantung kebutuhan presiden dalam melakukan transaksi dengan legislatif. Kebutuhan tersebut utamanya dalam hal presiden mengimplementasikan kebijakan. Kala parlemen terdiri atas partai mayoritas, baik itu partai-nya presiden atau bukan, pasti terdapat kapasitas institusional untuk tawar-menawar dengan presiden seputar kepentingan partai mayoritas tersebut. Dalam konteks ini, presiden mungkin tidak membutuhkan kabinet yang merefleksikan transaksi eksekutif-legislatif. Legislatif dan eksekutif yang otonomi tercipta. Kala parlemen terfragmentasi dan presiden punya dukungan yang kurang memadai dari parlemen. Sementara itu, presiden memilih tidak membentuk kabinet yang mencerminkan komposisi suara dalam parlemen dengan alasan persetujuan dengan parlemen akan membatasi kemampuannya mengimplementasi kebijakan. Jika ini yang terjadi, maka akan tercipta pola “anarkis” di mana presiden terus menerus diganggu dan tidak ada program-program pemerintah yang tuntas terlaksana akibat gangguan tersebut. Kala tidak terdapat mayoritas legislatif tetapi terdapat dukuan partisan substansial bagi presiden di parlemen, maka presiden butuh dan ingin melakukan transaksi dengan parlemen seputar kabinet. Transaksi ini dalam rangka menghubungkan legislatif dan eksekutif bersama dan memfasilitasi tawar-menawar legislatif. 3. Semi Presidensil Shugart memuat pernyataan Maurice Duverger tahun 1980 tentang sistem pemerintahan campuran. Sistem campuran ini ia sebut Semi-Presidensial. Lebih lanjut, Shugart menyatakan bahwa ciri utama dari Semi-Presidensial adalah : Presiden dipilih langsung oleh rakyat; Presiden punya kewenangan konstitusional terbatas; Terdapat pula Perdana Menteri dan Kabinet, yang merupakan kepanjangan tangan dari mayoritas di parlemen. Semi-Presidensial juga disebut Blondell tahun 1984 sebagai “Dual Excecutive”. Dual executive terjadi kala presiden tidak hanya kepala negara yang kurang otoritas politiknya, tetapi juga bukan kepala pemerintahan (eksekutif) yang sesungguhnya, karena juga terdapat Perdana Menteri yang punya hubungan kuat dengan parlemen dan merefleksikan demokrasi parlementer. Namun, rupa hubungan antara Presiden, Perdana Menteri, Kabinet, dan Parlemen berbeda-beda antara negara-negara yang menerapkan Semi-Presidensial tersebut. Varian sistem Semi-Presidensial yaitu : (1) Premier-Presidensil dan (2) President-Parlementer. Kedua varian ini akibat cukup bervariasinya praktek-praktek Semi-Presidensial untuk hanya secara ketat dimasukkan ke dalam terminologi Duverger. Variasi praktek tersebut dalam hal kekuasan konstitusional formal ataupun perilaku aktual pemerintah di masing-masing negara. Presiden mungkin terkesan sangat kuat di satu negara, sementara amat lemah di negara lainnya. Premier-Presidensil. Dalam Premier-Presidensil, perdana menteri dan kabinet secara eksklusif bertanggung jawab kepada mayoritas parlemen. Ini berbeda dengan President-Parlementer dimana perdana menteri dan kabinet bertanggung jawab kepada dua pihak yaitu presiden dan mayoritas parlemen. Dalam Premier-Presidensil pula, hanya mayoritas parlemen saja yang berhak memberhentikan kabinet. Ini membuat Premier-Presidensil sangat dekat dengan Parlementer. Namun, ia tetap punya ciri Presidensil, yaitu bahwa presiden punya kewenangan konstitusional untuk bertindak secara independen di hadapan parlemen. Keindependenan tersebut bisa dalam hal membentuk pemerintahan ataupun pembuatan undang-undang. Presiden-Parlementer. Dalam sistem ini presiden menikmatik kekuasaan konstitusional yang lebih kuat atas komposisi kabinet ketimbang di Premier-Presidensil. Otoritas presiden dalam Presiden-Parlementer juga bisa terbatas akibat orang yang dinominasikan untuk menjadi perdana menteri harus dikonfirmasi terlebih dahulu oleh mayoritas parlemen. Presiden-Parlementer menciptakan pertanggungjawaban ganda perdana menteri dan kabinet, yaitu kepada presiden dan parlemen. Sistem ini juga menempatkan presiden dalam posisi relatif kuat ketimbang Premier-Presidensil . 4. Hybryd Lainnya Selain Semi-Presidensial, terdapat pula model hybryd sistem pemerintahan yang bukan parlementer, bukan presidensil, dan bukan Semi-Presidensial. Model pemerintahan ini terdapat di Swiss di mana terdapat eksekutif yang dipilih dari parlemen dan memiliki jangka waktu kekuasaan yang fix (tidak bisa diganggu oleh parlemen). Model ini juga ada di Israel, di mana kepala eksekutif yang dipilih langsung rakyat sekaligus punya posisi yang punya ketergantungan tinggi pada parlemen. Demi memberikan gambaran lebih rinci seputar persebaran anutan sistem pemerintahan di dunia, baiklah kami kutipkan taksonomi dari Matthew Soberg Shugart berikut ini :
sumber: http://sauri-sofyan.blogspot.com/2010/01/macam-macam-kekuasaan.html
Langganan:
Postingan (Atom)