Kamis, 27 Mei 2010

Ketika Wong Cilik Jadi Korban Kebijakan

Kendaraan roda dua antri mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium di SPBU Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (27/5/2010). Pemerintah melalui Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) berencana mengurangi konsumsi BBM bersubsidi yakni premium untuk kendaraan bermotor roda dua dan mewajibkan mereka menggunakan BBM nonsubsidi (pertamax dan pertamax plus) mulai Agustus mendatang. KOMPAS IMAGES/DHONI SETIAWAN

KOMPAS.com - Apa pemerintah tidak peduli dengan orang kecil? Sontak, pria tua yang bekerja sebagai tukang ojek ini sedikit berang begitu mendapati kabar adanya kebijakan pemerintah untuk membatasi premium dan dialihkan ke Pertamax.

"Harga premium naik saja, kita sudah susah, ini disuruh beralih ke Pertamax yang jauh lebih mahal, jelas berat buat kita," ungkap Jari (43), Kamis (27/5/2010), di Pancoran, Jakarta.

Pria beranak dua ini mengaku hidupnya sekarang bisa dibilang pas-pasan. "Kalau sekarang hidup istilahnya Senin-Kamis. Kalau sampai ada aturan itu, mungkin kita hanya bisa hidup Sabtu-Minggu," ujarnya dengan nada pelan.

Dengan seharian mengojek, Jari bisa memperoleh sekitar Rp 50.000. "Itu juga kalau lagi ramai. Kalau sepi bisa cuma Rp 20.000 di luar bensin," ujar Jari.

Apakah cukup uang sejumlah itu untuk menghidupi dua anak yang sudah remaja dengan istri yang tak bekerja? "Yahhh.. Mau diapain lagi, kondisinya seperti ini, harus pas. Harus bisa," ungkapnya.

Dulu, sebelum krisis moneter yang mendera Indonesia di tahun 1997-1998, Jari masih bisa bernapas lega karena ada penghasilan tetap yang cukup untuk keluarga. "Sebelum krismon saya kerja jadi karyawan konveksi, tapi karena krisis toko jadi tutup, saya pengangguran akhirnya jadi tukang ojek," ujar pria yang sudah mengojek selama sepuluh tahun ini.

Selama satu dekade bersama motornya, Jari melawati banyak cerita baik suka maupun duka. Cerita paling diingatnya ketika seroang pelanggan tidak membayar jasanya. "Saya pernah enggak dibayar pelanggan sudah diantar sampai Senen, ditunggu dua jam enggak keluar-keluar, ya sudah saya pulang," kenangnya sambil tersenyum.

Cerita lain terjadi ketika kenaikan BBM. "Pelanggan itu tidak peduli BBM naik, mereka maunya tetap harga lama. Kadang-kadang jarak yang dikasih tahu di awal ternyata lebih jauh dari itu, kita yang rugi," cerita Jari.

Meski demikian, apabila benar-benar harus mengganti dengan Pertamax, ia hanya bisa pasrah. "Ya mau diapain lagi, harus terima. Paling nanti tarif dinaikin, dan dapat protes pelanggan," ia melanjutkan.

Di negeri ini, nasib seperti di atas, tidak hanya terjadi pada Jari, masih banyak "Jari" lainnya yang juga merasakan hal serupa, atau bahkan lebih miris. Meski tidak memiliki kekuatan untuk memprotes kebijakan itu, Jari tetap memiliki sedikit harapan untuk pemerintah. "Saya hanya mau pemimpin negeri ini bijaksana. Tolong jangan dinaikkan lagi beban biayanya, yang stabil saja," ujar Jari penuh harap.

Rencana pemerintah untuk menetapkan pembatasan premium bersubsidi untuk dialihkan ke Pertamax mengundang protes terutama dari kalangan bawah, salah satunya tukang ojek ini. Tukang ojek, yang keberlangsungan hidupnya sangat dipengaruhi dengan kestabilan harga BBM ini akan langsung terkena dampaknya. Terlebih, ojek bukan merupakan salah satu moda transportasi umum yang diakui pemerintah, sehingga kemungkinan mendapatkan subsidi pun terbilang kecil.

Sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/05/27/1746230/Ketika.Wong.Cilik.Jadi.Korban.Kebijakan-5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar