Selasa, 27 April 2010

Menyiasati Kelindan Anomali

sebuah kota yang ideal seharusnya bisa mengakomodasi kebutuhan semua warga, mulai anak kecil sampai perempuan, untuk beraktivitas dengan nyaman.

Sarah memberi contoh kecil, "Kalau lelaki, mungkin masih berani nyupir di malam hari. Perempuan kan tidak begitu. Masih banyak daerah-daerah yang rawan kejahatan."

Sarah sendiri merasa lebih nyaman disopiri saat meninjau proyek di Jakarta. Dia memang berkantor di Bandung, menggunakan ruang tamu rumahnya di bilangan Ciumbuleuit yang masih nyaman dan sejuk.

Sudah tiga tahun Sarah membangun bisnis sendiri, melayani jasa arsitek dan desain. Dia menangani banyak proyek, mulai pembuatan tanur tembaga dan cerobong untuk pabrik kabel sampai rumah tinggal. Perempuan itu juga tipe arsitek yang tidak cuma merancang di balik meja gambar, tetapi memimpin langsung pelaksanaannya.

Karena itu, Sarah paham betul bagaimana dunia arsitek seolah menegasikan kehadiran perempuan. Dia pun jadi satu dari sedikit perempuan yang lulus arsitek dan benar-benar menjadi praktisi. "Tuntutan di lapangan memang berat. Anda harus memimpin ratusan tukang. Biasanya yang perempuan cuma ibu dapur dan saya," ujar Sarah.

Sarah juga mengurai persoalan di lapangan. Misalnya pekerja bangunan, yang ia sebut urban commuter. "Mereka petani yang menganggur karena sawah sedang tidak bisa ditanami, skill-nya kurang. Lain dengan di Singapura, tukang batu ya tukang batu."

Persoalan lain ialah membangun komunikasi yang benar ke pekerja konstruksi. "Ibaratnya, nenek-nenek aja mereka suitin," katanya.

Dengan klien, Sarah pun menghadapi stigma. Di Indonesia, belum sampai 10% penduduk Indonesia yang menggunakan jasa arsitek. Biasanya pengguna golongan menengah ke atas karena ada anggapan arsitek itu mahal. Golongan pengguna jasa arsitek itu, celakanya, rata-rata miskin selera dan minim apresiasi. Bagi mereka, arsitek identik dengan tukang gambar. "Mereka mikirnya, apa sih susahnya gambar. Cuma modal kertas ama pensil. Buset dah," ujarnya kocak.

Karena itu, kekuatan tawar seorang arsitek ketika menegosiasikan ide sampai urusan pembayaran terbilang lemah. "Saya pernah enggak dibayar. Pernah juga underpaid. Tapi ya sudahlah, jadi pelajaran," tutur Sarah, ringan.

Belajar juga dari pengalaman, Sarah hanya merasa mampu mengerjakan dua proyek pemerintah. "Di dunia ini makelarnya ada juga. Saya enggak tahan dengan trik-trik yang mesti macem-macem itu. Nilainya enggak seberapa, masak hati juga dibeli."

Persoalan-persoalan itu bertambah untuk perempuan arsitek. Ada semacam perasaan meremehkan dari klien ketika arsiteknya perempuan. Sarah juga harus pintar membawa diri saat menemui klien. Salah satunya, menghindari pertemuan di kafe.

Perempuan yang menjadi arsitek, kata Sarah, sulit mendapatkan pengakuan wajar. Karena itu dia mafhum jika kaumnya memilih banting setir.

"Untung saya belum menikah ya. Saya ragu seorang arsitek perempuan itu bisa berkeluarga sekaligus berkarier. Berat. Kenapa berat? Karena infrastruktur di Indonesia itu enggak jalan," katanya penuh penekanan.

Pendidik cum seniman

Sebelum berbisnis, Sarah mengampu sejumlah kuliah di Universitas Pelita Harapan, Tangerang, dan di almamaternya, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Namun, akhirnya Sarah keluar.

Membangun bisnis, buat Sarah, lebih merdeka. Termasuk merdeka menjalani nilai kebenaran yang ia pegang teguh.

Saat menjadi dosen, Sarah tidak berkompromi jika harus memberi nilai buruk bagi yang enggan berupaya, apa pun konsekuensinya.Lepas dari lingkungan akademisi, kebenaran pula yang ia upayakan. "Betul, desain ialah sesuatu yang sulit dinilai. Tapi ia memiliki parameter teknis," katanya.

Di matanya, terlalu banyak anomali yang menjadi kebenaran di negeri ini. "Di sini, orang jadi berpikir bahwa bisnis ya harus sogok sana-sini. Melanggar peraturan, itu juga lumrah. Anomali ini malah menjadi kebenaran, menjadi aksioma," kata Sarah serius.

Sarah tahu betul bagaimana proyek dijalankan demi mengejar pembayaran modal ke bank yang terus berbunga. Karena itu, Sarah lebih nyaman mengerjakan proyek rumah tinggal. "Arsitektur itu bicara humanisme. Saat membuat rumah, misalnya. Di situ ada keinginan orang tua, juga anak. Pendekatannya sosial," kata Sarah.

Bisa dipahami jika kemudian ia geli sendiri dengan komodifi kasi arsitektur rumah tinggal yang tengah marak. "Arsitektur bukan perkara hunian ‘yang dekat dengan tujuh keajaiban dunia’," ujarnya menderai tawa.

Sinergi

Keteguhan Sarah memegang kebenaran tidak ia tampilkan dengan cara frontal. Untuk menyampaikan kebenaran, Sarah memilih cara yang tidak menyentil ego orang lain, apalagi lelaki. "Agar tidak debat kusir," katanya.

Baginya, itu semata taktik, bukan kompromi. Dia belajar betul menekan ego demi tujuan akhir, terutama saat di Inggris. Ketika itu, Mei 1998, Sarah berniat melanjutkan pendidikan berbekal tabungan keluarga sebesar 6.000 pound sterling. "Niatnya mau sekolah di daerah Sheffi eld, seperti Yogya-nya Inggris begitulah, karena uang saya enggak banyak," kata Sarah.

Sampai di sana, ia bertemu orang Indonesia yang mendorong Sarah melamar di Bartlett School of Architecture, University College London (UCL), London. Salah satu sekolah arsitektur terbaik di dunia dan tergolong mahal.

Sarah pun melamar. Seminggu sebelum tanggal wawancara, dia mempersiapkan diri sampai tidak tahu kabar negeri sendiri. Pada 11 Mei 1998, pecah kerusuhan di Jakarta. Beritanya tampil di semua media internasional, termasuk harian Inggris The Independent. Gambar massa yang mengamuk menguarkan citra Indonesia sebagai negara barbar. Sarah masih juga belum ngeh.

Dua hari setelahnya, Sarah berkereta api dari Sheffield ke London untuk diwawancarai. Dia merasa telah menyiapkan semua, termasuk portofolio.

"Waktu itu ya lumayanlah, bangga, Peter Cook langsung mewawancarai saya," kenang Sarah.

Dalam dunia arsitek, Peter Cook ialah empu yang disegani. Namun, empu itu melihat porfolio Sarah tidak lebih dari 5 menit. "Dia bilang, ‘Saya tidak pernah dengar Indonesia. Berani-beraninya melamar di sekolah saya’."

Kata Sarah, kebanyakan praktisi dan akademisi bidang desain di Inggris memandang sebelah mata kepada orang Asia. Dua jam Sarah dicecar. "Sudah penghinaanlah. Pokoknya, yang katanya Indonesia gemah ripah loh jinawi, dipuja seluruh negara, saat itu terasa bullshit," kisahnya.

Lama-lama Sarah paham Peter Cook rupanya terprovokasi oleh pemberitaan kerusuhan di Jakarta. "Citra Indonesia saat itu buruk sekali. Akhirnya saya bilang, saya melamar di Barlett karena tahu sekolah ini bagus dan reputasi Peter Cook juga sangat baik. Ilmu itu untuk semua orang, bahkan untuk orang-orang dari negara berkembang seperti saya. Saya perempuan. Jauhjauh dari Indonesia saya ingin menjadi perempuan pintar," ujar Sarah menirukan perkataannya 12 tahun silam.

Pulang dari London, 2 jam ia menangis di kereta. Namun, ternyata Sarah diterima. Namun, Peter Cook masih juga tidak bisa berkata-kata yang menenangkan hati. "Dia bilang, jangan senang dulu keterima. Kami hanya ingin tahu tentang Indonesia. Jadi, Anda harus banyak belajar ke siswa-siswa lain," ujar Sarah menirukan kata-kata Peter Cook yang dingin.

Seusai pertemuan itu, Sarah terburuburu menuju telepon koin di lantai dasar untuk menelepon ibunya. "Mak, aku pulang sajalah. Aku di sini paling bodoh. Nanti uang kita habis, aku tidak selesai," kata Sarah kepada ibunya.

Dari seberang sang ibu membangkitkan semangat Sarah. "Hapus itu air matamu. Tunjukkan kepada bule-bule itu, kamu bisa," kata sang ibu dalam bahasa Batak Karo.

Injeksi semangat itu manjur. Sarah maju lagi. Peter Cook, meski terlihat dingin dan menghina, rupanya berupaya keras agar Sarah mendapat beasiswa. Dua tahun kemudian, Sarah lulus dan sempat berkarier di Inggris. Salah satunya menjadi perancang perhiasan di Selfridges, London.

Dia pulang ke Indonesia lantaran ada kebijakan yang mengharuskan pengusaha Inggris membayar gaji pekerja asal negara non-Uni Eropa dua kali lipat. Sampai di Indonesia, ia menganggur sembilan bulan sebelum menerima tawaran mengajar di Unikom, Bandung, dengan bayaran Rp500 ribu.

Pelan-pelan, Sarah membangun bisnis sembari berkiprah sebagai seniman. Pada 2005, karyanya hadir dalam CP Biennale II 2005: Urban/Culture di Museum Bank Indonesia, Jakarta. Dia lebih lega begitu, lepas dari tekanan yang sulit ia terima dari sisi etika. “Bila menjadi perempuan kelompok menengah dengan koneksi minim dan materi terbatas, Anda hanya punya motivasi.

Sumber: http://www.mediaindonesia.com/mediaperempuan/index.php/read/2010/04/27/3073/10/Menyiasati-Kelindan-Anomali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar